MAKALAH
HUKUM PAJAK DI INDONESIA
DI SUSUN OLEH:
-
PENI
ROZALINI ( 3021411080)
3 MN 3
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
BANGKA BELITUNG
2015
i
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala hidayah dan rahmat-Nya, sehingga
kelompok kami dapat menyelesaikan Makalah yang bertemakan Hukum Pajak di Indonesia.
Makalah kami dapat kami tulis atas kerja sama para anggota dari kelompok kami.
Dengan adanya Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pemahaman para
pembaca tentang masalah yang ditulis dalam Makalah kami ini.
Dalam
penyusunan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena itu,
kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan Makalah ini. Dan semoga
Makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Balun Ijuk, 2 Agustus
2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
judul..........................................................................................................................i
Kata
pengantar........................................................................................................................ii
Daftar
isi.................................................................................................................................iii
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3 Tujuan
Penulisan...............................................................................................................1
BAB
2 PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Sumber hukum
dan perkembangan hukum pajak di indonesia........................................2
2.2 Pengertian
hukum pajak...................................................................................................8
2.3 Sejarah
dan perubahan hukum pajak................................................................................9
2.4 Fungsi
dan tujuan hukum pajak.......................................................................................14
BAB
3 PENUTUP.................................................................................................................21
3.1
Kesimpulan.......................................................................................................................21
3.2
Saran.................................................................................................................................21
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Pajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap wajib pajak (masyarakat). Pajak merupakan iuran
wajib kepada Negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat balas jasa
kembali secara langsung. karena itu banyak sekali pengertian pajak, dari
pengertian dan tujuan pajak ini lah terdapat unsur yang membedakan antara pajak
dan pungutan lain. Dari mulai timbulnya, pengertian, fungsi, dan jenis-jenis
pajak kita dapat mengelompokan mana yang berupa pajak dan mana yang berupa
pungutan dan bagaimana hukum pajak itu, hukum pajak pun mempunyai beberapa
hubungan dengan hukum lain yang salah satunya adalah hubungan hukum pajak
dengan hukum pidana
Pajak juga memiliki banyak hubungan dengan hukum-hukum
yang lainnya yang secara umum terhubung dengan 2 (dua) ilmu hukum yang lain
nya. Yang pertama hubungan hukum pajak dengan hukum perdata dan yang ke dua
hubungan hukum pajak dengan hukum pidana.
2.
Rumusan Masalah
1. Sumber
hukum dan perkembangan hukum pajak di Indonesia?
2. Pengertian
hukum pajak?
3. Sejarah
dan perubahan hukum pajak?
4.
Fungsi dan tujuan hukum
pajak?
3.
Tujuan Penulisan
1.
Memahami Hukum Pajak
di Indonesia.
2.
Memahami perkembangan
hukum pajak di Indonesia.
3.
Memahami sejarah dan
perubahan hukum pajak.
4.
Memahami fungsi dan
tujuan hukum pajak.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Sumber Hukum dan Perkembangan Hukum Pajak di Indonesia.
a.
Sumber hukum
pajak, terdiri dari:
1. UUD 1945
Sebelum amandemen UUD 1945,
ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi “ segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang.” Ketentuan
ini mengandung asas legalitas yang meletakkan kewenangan pada
negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat
harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara
rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah yang
diatur dengan undang-undang atau “No taxation without representation”.
Setelah UUD
1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang
sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A UUD 1945 yag
berbunyi “pajak dan pugutan yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.”Terdapat perubahan yang prinsipil
karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur
dengan undang-undang. Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar
tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa
kepada warga negara.
2. Perjanjian
Perpajakan
Tiap negara memiliki peraturan pajak
yang berbeda dengan negara lain yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan
pajak ganda internasional sehingga menimbulkan beban yang tinggi terhadap Wajib
Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan
perjanjian penghindaran pajak internasional agar Wajib pajak dari tiap negara
yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian
perpajakan juga dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax
avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion).
Wujud
perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B), baik perjanjian itu bersifat bilateral
maupun multilateral, mengenai tarif atas bunga, deviden, royalti, dan
sebagainya.
3. Yurisprudensi
Perpajakan
Yurisprudensi perpajakan adalah
putusan pengadilan mengenai perkara pajak yang meliputi sengketa pajak dan
tindak pidana pajak yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Putusan
pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah Putusan Pegadilan Pajak
maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak
yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang terkait dengan tindak
pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum maupun
Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Doktrin
Perpajakan
Agar doktrin dapat menjadi sumber
hukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks di bidag perpajakan yang
dikemukakan ahli hukum pajak, mengingat substansi hukum yang terkandung dalm
hukum pajak memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan hukum lainnya
karena hukum pajak memiliki ciri khas tersendiri.
Pendapat ahli hukum pajak, untuk
saat ini, belum dapat diharapkan untuk menunjangpengembngan hukum pajak. Hal
ini disebabkan karena kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak
tersendiri dalam perkembangan hukum pajak.
b. Perkembangan Hukum Pajak di
Indonesia,
Zaman dahulu sebelum terdapat negara yang
teratur masih bersifat sederhana, dikuasai oleh seorang raja yang bertugas memelihara
keamanan di wilayah kekuasaannya serta mempertahankan wilayahnya dari serangan
musuh, rumah tangga keuangannya belum sempurna dan masih sederhana. Namun pada
zaman itu terasa juga kebutuhan akan uang membiyai pengeluaran umum negara
seperti untuk membayar pegawai kerajaan, mengaji para prajurit, membangun
gedung, jalan dan lain-lain. Pada waktu itu pemungutan pajak belum teratur,
masih berupa setoran innatura seperti padi, ternak dan lain-lain atau melakukan
pekerjaan guna kepentingan umum seperti mempelihara jalan, melaksanakan jaga
bergiliran, rodi dan lain-lain. Dengan majunya suatu negara modern, maka tata
cara pemungutan pajakpun menjadi teratur.
Berikut peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang.
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN
YANG BERLAKU SEJAK PROKLAMASI SAMPAI DENGAN 1983
Pada umumnya peraturan-peraturan
perundang-undangan perpajakan pada masa ini adalah peninggalan zaman belanda
yang karena beberapa kesulitan belum dapat diganti, hanya mengalami beberapa
perubahan untuk disesuaikan dengan kemajuan perekonomian. Merujuk pada Pasal II
(Aturan Peralihan) UUD. 1945 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1952 antara lain
menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951, semua Undang-Undang, Undang- Undang
Darurat dan Ordonasi tentang Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia.
Undang-undang yang menyatakan berlaku dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1952
adalah :
1. Undang-undang Pajak Radio (U.U. No 12 Tahun 1947).
2. Undang-undang Pajak Pembangunan (U.U. No 14 Tahun
1947).
3. Undang-undang Darurat Pajak Peredaran (U.U. No. 12
Tahun 1952).
4. Ordonansi Pajak Peralihan 1944 (Stbl. 1994 No. 17)
kemudian menjadi Ordonasi Pajak Pendapatan 1944.
5. Ordonansi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611).
6. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stbl. 1908 No. 13)
7. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No.
718).
8. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl. 1924
No. 291).
9. Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No 671)
10. Aturan Bea Materai 1921 (Stbl. 1921 No. 498)
11. Ordonansi Successie 1901 (Stbl. 1901 No 471)
12. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Stbl. 1932 No 405)
Pajak-pajak negara lain yang tidak disebutkan dalam
Undang-undang No 4 Tahun 1952 diumumkan secara tersendiri seperti Pajak
Perseroan 1925 (Lembaran Negara 1952 No. 83). Dalam perkembangan selanjutnya,
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ekonomi keuangan Negara,
atas Undang-undang perpajakan tersebut mengalami berbagai perubahan, misalnya
dengan penghapusan peraturan, penggantian nama, perubahan status pajak negara
menjadi pajak daerah dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan ekonomi di
Indonesia, kemudian diundangkan beberapa Undang-undang perpajakan antara lain:
1.
Undang-undang Pajak Penjualan 1951
(kemudian diperbarui dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1968).
2.
Undang-undang Pajak Deviden (U.U. No. 21
Tahun 1959 yang kemudian diperbaruhi dengan Undang-undang Pajak atas Bunga
Dividen dan Royalty 1970 (U.U. No. 10 Tahun 1967).
3.
Undang-undang Penagihan Pajak Negara
dengan Surat Paksa (U.U. No. 19 Tahun 1959).
4.
Pajak Bangsa Asing (U.U. No. 74 Tahun
1958)
5.
Undang-undang Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (U.U. No. 27 Tahun Tahun 1959).
6.
Undang-undang No. 8 Tahun 1967 tentang
Tata Cara Pemungutan PPd.
PKk dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Perkembangan selanjutnya ada beberapa Pajak Negara diserahkan ke Pemerintah
Daerah yaitu :
1. Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan Negara antara Pusat dan Daerah yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1957 tentang penyerahan
Pajak Negara kepada Daerah, telah diserahkan :
Kepala Daerah
Tingkat I
|
Kepala Daerah
Tingkat II
|
1) Pajak Rumah Tangga 1908
2) Pajak Kendaraan Bermotor 1934
3) Verponding 1928
|
1) Pajak Jalan 1942
2) Pajak Kopra
3) Pajak potong 1936
4) Pajak pembangunan I
5) Verponding Indonesia
|
2. Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun
1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara kepada :
Daerah Tingkat
I
|
Daerah Tingkat
II
|
Pajak Bangsa
Asing 1958
|
Pajak Radio
1947
|
B. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG
BERLAKU SEJAK 1983 YANG BELUM DIPERBARUHI
Menimbang bahwa peraturan perundangan perpajakan yang
merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar
merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk
menghimpun dana bagi Pemerintah Penjajahan dalam rangka memperbesar
kekuasaannya di tanah air kita.
Memasuki alam kemerdekaan, sejak Proklamasi 17 Agustus
1945, terhadap berbagai peraturan perundang di bidang perpajakan telah
dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian terhadap keadaan dan tuntutan
rakyat dari suatu negara yang telah merdeka. Namun perubahan-perubahan tersebut
belum menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang
perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara
mendasar. Peraturan tersebut harus dilandasi falsafah Pancasila dan
Undangundang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjujung tinggi
hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kenegaraan.
Berdasarkan perkembangan serta alasan tersebut diatas
maka Pemerintah mensahkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang baru,
yaitu :
1.
Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) (L.N. No. 49 Tahun 1983, TLN No.
3262), yang telah berkali-kali diubah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
2.
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan (PPh)(L.N. No. 50 Tahun 1983, TLN No. 3263), yang telah
berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
3.
Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPn Barang Mewah (L.N. No. 51 Tahun
1983, TLN No. 3264) yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan UU No. 18
Tahun 2000.
4.
Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (L.N. No. 68 Tahun 1985, TLN No. 3312) yang telah
berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994.
5.
Undang-undnag No. 13 Tahun 1985 tentang
Bea Materai (L.N. No. 69 Tahun 1983, TLN No. 3313).
2.2 Pengertian Hukum Pajak
Apabila seseorang ingin mempelajari suatu
ilmu, maka orang tersebut, perlu mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu
yang akan dipelajarinya itu agar mudah memahami apa yang terkandung dalam ilmu
itu. Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam ilmu sosial lainnya tidak ada yang
pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut pandang masing-masing sarjana
yang membuat definisi tersebut. Namun dalam bermacam-macam bunyi definisi itu,
intinya akan sama.
Hukum pajak
adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
melalui kas Negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum public yang
mengatur hubungan Negara atau orang-orang atau badan-badan hukum yang
berkewajiban membayar pajak.
Hukum pajak dibedakan atas hukum
pajak materil dan hukum pajak formil.
1) Hukum
materil memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa yang dikenakan pajak, dan
siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak dan berapa harus membayar.
2) Hukum
formil, memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materil
menjadi kenyataan.
Hukum pajak yang juga merupakan
hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat melalui kas Negara.
Pajak dipungut berdasarkan
undang-undang. Dasar hukum pajak yang tertinggi adalah pasal 23A undang-undang
dasar 1945 yang berbunyi, bahwa “pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ”.
Asas undang-undang pajak yang universal adalah undang-undang pajak harus
berdasarkan asas keadlian dan pemerataan dalam memikul beban pajak sesuai
kemampuan masyarakat, nondiskriminasi, menjamin kepastian hukum, serrta
mengatur adanya hak dan kewajiban yang seimbang antara rakyat dan Negara.
2.3 Sejarah dan Perubahan Hukum Pajak
A. Sejarah Pajak di indonesia
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa.
Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura
berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan
lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan
atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau
prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk
kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena
kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat
tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada
kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau
penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan
rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial
lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian)
yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian
dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa
tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur
keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam
pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk
kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah
diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran
pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi
Pajak Rumah Tangga;
2. Aturan
Bea Meterai;
3. Ordonansi
Bea Balik Nama;
4. Ordonansi
Pajak Kekayaan;
5. Ordonansi
Pajak Kendaraan Bermotor;
6. Ordonansi
Pajak Upah;
7. Ordonansi
Pajak Potong;
8. Ordonansi
Pajak Pendapatan;
9. Undang-undang
Pajak Radio;
10. Undang-undang
Pajak Pembangunan I;
11. Undang-undang
Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
1.
UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah
dengan UU No. 2 Tahun 1968;
1.
UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen
yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga,
Dividen, dan Royalti;
2.
UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan
Pajak Negara dengan Surat Paksa;
3.
UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa
Asing;
4.
UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara
Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan
masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa
undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa
keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment.
Kelima undang-undang tersebut adalah:
1.
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
2.
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh);
3.
UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
4.
UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih
menggunakan official assessment);
5.
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
(BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan
undang-undang, yaitu:
1.
UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9
Tahun 1994;
2.
UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
10 Tahun 1994;
3.
UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
11 Tahun 1994;
4.
UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No.
12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang
yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang
sudah ada, yaitu:
1.
UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
1.
UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah;
2.
UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa;
3.
UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak;
4.
UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan
untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada
tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
1. UU No.
16 Tahun 2000 tentang KUP;
2. UU No.
17 Tahun 2000 tentang PPh;
3. UU No.
18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
4. UU No.
19 Tahun 2000 tentang PPSP;
5. UU No.
21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
6. UU No.
34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
7. Peraturan
Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun
2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini
dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007
yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai
tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset
policybeberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan
adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya
mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU
PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.
B. Perubahan Hukum Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia telah
mengalami beberapa kali perubahan atau yang kerap disebut Tax Reform.
reformasi pajak (Tax Reform) adalah perubahan yang
mendasar di segala aspek perpajakan. Setidaknya terdapat lima tahap reformasi
perpajakan di Indonesia, yaitu:
1.
Tax Reform yang Pertama pada tahun
1983–1985;
2.
Tax Reform yang Kedua pada tahun 1997;
3.
Tax Reform yang Ketiga pada tahun 1997;
4.
Tax Reform yang Keempat pada tahun 2000;
5.
Tax Reform yang Kelima pada tahun
2002-2009.
Latar belakang dilakukannya reformasi pajak yang dimulai pada
tahun 1983, setidaknya ada beberapa hal dalam situasi perpajakan nasional pada
saat itu yang melatar belakangi adanya reformasi pajak :
1.
Peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku dikala itu adalah sebagai warisan zaman kolonial Belanda yang
pemikiran, dan tujuan yang dibuat pada zaman tersebut dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat
sejak Proklamasi tahun 1945. Pada zaman kolonial, pemungutan pajak semata-mata
dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintah penjajahan. Sedangkan dalam
alam kemerdekaan, pemungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan UUD 1945 untuk
kemakmuran bangsa;
2.
Selain tidak sesuai kehidupan Bangsa
Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat, peraturan pajak warisan Hindia
Belanda dirasakan tidak memperhatikan azas dan aspek pemerataan, keadilan,
kepastian hukum dan pertumbuhan ekonomi;
3.
Performa instansi pajak dan aparatnya yang
kurang baik sehingga menimbulkan sikap masyarakat apatis dan berprasangka jelek
terhadap pajak. Baik karena sistem perpajakan yang ada saat itu bukan saja
tidak sesuai dengan perekonomian Indonesia yang makin modern, tapi juga sangat
rumit dan sukar dipahami oleh pemungut pajak maupun oleh pembayar pajak, maupun
sikap moral korup oknum-oknumnya. Dan berlanjut pada jumlah penerimaan pajak
yang belum Optimal dan bisa dikatakan masih minim sekali terlihat dari jumlah
Wajib Pajak yang masih sedikit dengan jumlah penerimaan yang sedikit pula
terlihat dari Jumlah Penerimaan pada tahun anggaran 1983/1984 hanya sebesar Rp
2,3 trilyun. Serta sampai dengan akhir 1983 tax ratio penerimaan pajak dengan
produk domestik bruto hanya sebesar 6,35% saja.
Disamping kondisi perpajakan di atas, pemicu utama sebagai latar
belakang dilaksankannya tax reform tahap pertama adalah merosotnya harga ekspor
minyak bumi pada masa Pasca Oil Boom yang pada Tahun Anggaran 1981/1982 Harga
minyak sebesar US$ 35.00/barrel menurun menjadi US$ 29.53/barrel pada Tahun
Anggaran 1983/1984. Merosotnya harga minyak di pasar internasional pasca Oil
Boom menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan
sektor migas menurun, defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta
(1983/1984). Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$ 2.888 juta menjadi
US$ 4.151 juta (1983/1984). Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun
menjadi Rp 2.742 triliun (1983/1984).
Adapun beberapa alasan lainnya mengapa pemerintah melakukan
reformasi pajak, yaitu:
1.
Sebagai upaya menstabilkan perekonomian
yang tidak menentu karena pengaruh perekonomian internasional maupun nasional.
2.
Sebagai usaha mengalihkan sektor
penerimaan APBN dari migas yang semula sebagai sektor primadona menjadi pajak
sebagai sumber yang lebih dapat menjanjikan karena secara rasional pajak adalah
penerimaan yang berkelanjutan tidak seperti migas.
3.
Usaha mengikuti ketentuan dunia terutama
dalam hal pendanaan (pinjaman luar negeri) yang mensyaratkan struktur pajak
yang ada harus disesuaikan dengan kondisi seharusnya.
4.
Meningkatkan penerimaan negara dari sektor
pajak.
Harapannya dengan Reformasi Perpajakan, sistem perpajakan akan
berintikan kesederhanaan, menunjang pemerataan dan memberikan kepastian dan
keadilan. Sistem perpajakan baru tidak akan memungut pajak atas keseluruhan
masyarakat, tetapi adalah upaya dalam memperoleh penerimaan negara yang berasal
dari hasil pemungutan pajak terhadap perusahaan-perusahaan besar dan individu
yang berpenghasilan.
TUJUAN REFORMASI PAJAK
Tujuan reformasi perpajakan adalah dalam rangka mewujudkan
kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih
mengoptimalkan segenap kemampuan dalam negeri terutama di bidang perpajakan.
Pemerintahtelah menyadari bahwa untuk membiayai pengeluaran negara baik itu
rutin maupun pembangunan pada saat ini dan masa yang akan datang kita tidak
dapat lagi bergantung pada penerimaaan negara dari sumber minyak bumi dan gas
alam maupun utang luar negeri. Oleh sebab itu peningkatan penerimaan pajak
merupakan keharusan bagi terpenuhinya kebutuhan dana bagi pengeluaran negara
terutama pembangunan. Reformasi perpajakan akan memudahkan tercapainya kehendak
tersebut.
Reformasi perpajakan memiliki beberapa tujuan, yaitu antara lain
untuk:
1.
Lebih menegakkan kemandirian Indonesia
dalam membiayai pembangunan nasional;
2.
Meningkatkan penerimaan pajak dari sektor
pajak;
3.
Membuat beban pajak akan makin adil dan
wajar;
4.
Meningkatkan kualitas pelayanan kepada
wajib pajak;
5.
Meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajak;
6.
Menerapkan prinsip konsep good governance,
dengan adanya asas transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas
dalam meningkatkan kinerja instansi pajak;
7.
Meningkatkan penegakan hukum pajak,
pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak baik kepada petugas
pajak maupun kepada wajib pajak.
PELAKSANAAN REFORMASI PAJAK DI INDONESIA
Sebelum
dilakukannya Tax Reform beberapa jenis pajak yang ada di Indonesia adalah
sebagaimana berikut ini:
1. Staatsblad
No. 13 Tahun 1908 tentang Ordinasi Rumah Tangga
2. Staatsblad
No. 498 Tahun 1921 tentang Aturan Bea Materai
3. Staatsblad
No. 291 Tahun 1924 tentang Ordinasi Bea Balik Nama
4. Staatsblad
No. 405 Tahun 1932 tentang Ordinasi Pajak Kekayaan
5. Staatsblad
No. 718 Tahun 1934 tentang Ordinasi Pajak Kendaraan Bermotor
6. Staatsblad
No. 611 Tahun 1934 tentang Ordinasi Pajak Upah
7. Staatsblad
No. 671 Tahun 1936 tentang Ordinasi Pajak Potong
8. Staatsblad
No. 17 Tahun 1944 tentang Ordinasi Pajak Pendapatan
9. Staatsblad
No. 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio
10. Staatsblad
No. 144 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan
11. UU No.
12 Tahun 1952 tentang Pajak Peredaran
12. UU
Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan yang diubah UU No. 2 Tahun 1968
13. UU No.
21 Tahun 1959 tentang Pajak Deviden yang diubah dengan UU No. 10 Tahun
1967 tentang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti
14. UU No.
19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa
15. UU No.
74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
16. UU No.
8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKk, dan PPs/ Tata Cara MPS-MPO
Sejalan dengan tuntutan perubahan zaman
dan kebutuhan yang melatarbelakangi, pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai langkah guna mereformasi sistem perpajakan di Indonesia. Reformasi
sistem perpajakan meliputi dua aspek yaitu :
1. Reformasi di bidang kebijakan perpajakan (Tax Policy Reform); melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPn Bm, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititik-beratkan pada pemberianrasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
2. Reformasi sistem administrasi perpajakan (Tax Administrative Reform), meliputi :
1. Reformasi di bidang kebijakan perpajakan (Tax Policy Reform); melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPn Bm, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititik-beratkan pada pemberianrasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
2. Reformasi sistem administrasi perpajakan (Tax Administrative Reform), meliputi :
·
Penyempurnaan peraturan pelaksanaan
undang-undang perpajakan;
·
Pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Tax Payer Office,
LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi,
pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan
fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance;
·
Pembangunan KPP khusus Wajib Pajak
menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak;
·
Pengembangan basis data, pembayaran pajak
dan penyampaian SPT secara online;
·
Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak;
serta
·
Peningkatan efektivitas penerapan kode
etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional.
2.4 Fungsi dan
Tujuan Hukum Pajak
1.
Fungsi Hukum Pajak
Selain memiliki tujuan keadilan, hukum
pajak juga memiliki berbagai fungsi yang berdasar pada azas-azas yang bertujuan
utama menyejahterakan penduduknya. Fungsi yang pertama dalam hukum pajak yaitu
sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang harus memenuhi syarat
keadilan, efisien, dan sederhana sejelas-jelasnya dalam undang-undang hukum
pajak itu sendiri.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai sumber yang menerangkan tentang mana dan siapa subjek maupun objek yang perlu dan tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak di negara ini. Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban pajak kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan masing-masing orang.
Lebih lanjut hukum pajak pun memiliki fungsi sebagai penjelas tentang penggunaan/pemanfaatan dari hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum. Selanjutnya, hukum pajak juga memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi administrasi ataupun sanksi tata usaha, maupun sanksi pidana berupa penjara ataupun kurungan. Adapun sanksi administrasi berupa:
a. Denda: Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan berupa denda berupa uang (harta) yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
b. Bunga: Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran/penyetoran pajak, yang terdiri dari bunga pembayaran, bunga ketetapan, dan bunga penagihan.
c. Kenaikan: Sanksi administrasi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan material.
Penetapan hak dan kewajiban bagi seorang fiskus maupun wajib pajak juga menjadi salah satu fungsi dari hukum pajak. Hak dan kewajiban wajib pajak, yaitu:
1. Kewajiban wajib pajak
a. Mendaftarkan diri menjadi wajib pajak dan pengusaha kena pajak
b. Mengambil surat pemberitahuan sendiri ke kantor pajak atau tenpat-tempat lain yang telah ditentukan oleh Dirjen Pajak
c. Mengisi surat pemberitahuandengan benar, lengkap, dan jelas serta menandatanganinya dan melaporkannya.
d. Membayar pajak yang terhutang yang telah dihitung sendiri tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak atau tagihan pajak
e. Menyelenggarakan pembukuan dan memperlihatkan pembukuan serta memberikan keterangan apabila dilakukan pemeriksaan
f. Menyimpan dokumen-dokumen sebagai dasar perhitungan pajak
2. Hak-hak wajib pajak
a. Menghitung pajak sendiri
b. Mengajukan perpanjangan jangka waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan
c. Melakukan pembetulan surat pemberitahuan
d. Mengajukan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran pajak atau kelebihan karena dipotong oleh pihak ketiga
e. Mengajukan permohonan untuk mengansur pembayaran pajak
f. Mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi, bunga atau kenaikan yang dikenakan
g. Mengajukan pembetulan atas kesalahan SKP, STP, Surat Keberatan, SK Pengurangan au Penghapusan sanksi administrasi dan sebagainya
h. Mengajukan keberatan apabila ditetapkan pajaknya lebih tinggi
i. Mengajukan banding atas keputusan keberatan kepada badan peradilan pajak
Sedangkan fiskus mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut;
1. Kewajiban fiskus:
a. Melayani pendaftaran wajib pajak untuk meminta nomor pokok wajib pajak
b. Melayani wajib pajak dalam pemberian formulir-formulir yang dibutuhkan untuk laporan-laporan
c. Melayani untuk menerima laporan dari wajib pajak baik SPT Masa atau SPT Tahunan
d. Memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu peyampaian SPT
e. Memberikan persetujuan penundaan atau angsuran pmbayaran pajak yang diminta oleh wajib pajak
f. Membetulkan SKP, STP, Surat Keberatan, SKP Pengurangan atau Penghapusan, sanksi administrasi apabila terjadi kesalahan
g. Menerima keberatan wajib pajak termasuk yang mengajukan banding
2. Hak-hak fiskus
a. Menerbitkan NPWP dan NPPKP baik diminta oleh wajib pajak atau tidak (secara jabatan)
b. Menerbitkan SKP atau STP
c. Melakukan penagihan pajak
d. Menerbitkan surat paksa dalam hal wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam SKP atau STP
e. Melakukan pemeriksaan
f. Meminjam dokumen-dokumen pembukuan wajib pajak yang menjadi dasar perhitungan besranya pajak yang dibayar
g. Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu
h. Melakukan penyidikan pajak
Fungsi lain yang terkandung dalam hukum pajak yaitu untuk menghindari timbulnya hambatan-hambatan atau perlawanan dari pembayar pajak yang dapat merugikan negara (pemerintah). Adapun hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan Pasif
Yaitu perlawanan yang timbul dikarenakan masyarakat enggan (pasif) membayar pajak. Yang menjadi penyebab perlawanan itu antara lain:
Fungsi selanjutnya adalah sebagai sumber yang menerangkan tentang mana dan siapa subjek maupun objek yang perlu dan tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak di negara ini. Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban pajak kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan masing-masing orang.
Lebih lanjut hukum pajak pun memiliki fungsi sebagai penjelas tentang penggunaan/pemanfaatan dari hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum. Selanjutnya, hukum pajak juga memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi administrasi ataupun sanksi tata usaha, maupun sanksi pidana berupa penjara ataupun kurungan. Adapun sanksi administrasi berupa:
a. Denda: Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan berupa denda berupa uang (harta) yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
b. Bunga: Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran/penyetoran pajak, yang terdiri dari bunga pembayaran, bunga ketetapan, dan bunga penagihan.
c. Kenaikan: Sanksi administrasi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan material.
Penetapan hak dan kewajiban bagi seorang fiskus maupun wajib pajak juga menjadi salah satu fungsi dari hukum pajak. Hak dan kewajiban wajib pajak, yaitu:
1. Kewajiban wajib pajak
a. Mendaftarkan diri menjadi wajib pajak dan pengusaha kena pajak
b. Mengambil surat pemberitahuan sendiri ke kantor pajak atau tenpat-tempat lain yang telah ditentukan oleh Dirjen Pajak
c. Mengisi surat pemberitahuandengan benar, lengkap, dan jelas serta menandatanganinya dan melaporkannya.
d. Membayar pajak yang terhutang yang telah dihitung sendiri tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak atau tagihan pajak
e. Menyelenggarakan pembukuan dan memperlihatkan pembukuan serta memberikan keterangan apabila dilakukan pemeriksaan
f. Menyimpan dokumen-dokumen sebagai dasar perhitungan pajak
2. Hak-hak wajib pajak
a. Menghitung pajak sendiri
b. Mengajukan perpanjangan jangka waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan
c. Melakukan pembetulan surat pemberitahuan
d. Mengajukan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran pajak atau kelebihan karena dipotong oleh pihak ketiga
e. Mengajukan permohonan untuk mengansur pembayaran pajak
f. Mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi, bunga atau kenaikan yang dikenakan
g. Mengajukan pembetulan atas kesalahan SKP, STP, Surat Keberatan, SK Pengurangan au Penghapusan sanksi administrasi dan sebagainya
h. Mengajukan keberatan apabila ditetapkan pajaknya lebih tinggi
i. Mengajukan banding atas keputusan keberatan kepada badan peradilan pajak
Sedangkan fiskus mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut;
1. Kewajiban fiskus:
a. Melayani pendaftaran wajib pajak untuk meminta nomor pokok wajib pajak
b. Melayani wajib pajak dalam pemberian formulir-formulir yang dibutuhkan untuk laporan-laporan
c. Melayani untuk menerima laporan dari wajib pajak baik SPT Masa atau SPT Tahunan
d. Memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu peyampaian SPT
e. Memberikan persetujuan penundaan atau angsuran pmbayaran pajak yang diminta oleh wajib pajak
f. Membetulkan SKP, STP, Surat Keberatan, SKP Pengurangan atau Penghapusan, sanksi administrasi apabila terjadi kesalahan
g. Menerima keberatan wajib pajak termasuk yang mengajukan banding
2. Hak-hak fiskus
a. Menerbitkan NPWP dan NPPKP baik diminta oleh wajib pajak atau tidak (secara jabatan)
b. Menerbitkan SKP atau STP
c. Melakukan penagihan pajak
d. Menerbitkan surat paksa dalam hal wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam SKP atau STP
e. Melakukan pemeriksaan
f. Meminjam dokumen-dokumen pembukuan wajib pajak yang menjadi dasar perhitungan besranya pajak yang dibayar
g. Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu
h. Melakukan penyidikan pajak
Fungsi lain yang terkandung dalam hukum pajak yaitu untuk menghindari timbulnya hambatan-hambatan atau perlawanan dari pembayar pajak yang dapat merugikan negara (pemerintah). Adapun hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan Pasif
Yaitu perlawanan yang timbul dikarenakan masyarakat enggan (pasif) membayar pajak. Yang menjadi penyebab perlawanan itu antara lain:
1.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat,
2.
Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat,
3.
Sistem kontrol tidak dapat dilaksanakan dengan baik,
2.
Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi usaha
dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuk-bentuk
perlawanan aktif antara lain:
1.Tax avoidance, usaha
meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang
2.Tax evasion, yaitu usaha
meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang ataupun dapat
disebut dengan penggelapan pajak.
Fungsi
hukum pajak selanjutnya adalah sebagai acuan dalam pemungutan pajak sehingga
tidak mengganggu kegiatan atau kelancaran perekonomian dalam segala bidang.
Adapun tata cara pemungutan pajak terbagi dalam 3 stelsel pajak antara lain:
1.
Stelsel nyata (Riil Stelsel)
Pengenaan pajak berdasarkan pada
objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan
pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
Stelsel nyata mempunyai kelebihan
atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan
lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada
akhir periode (setelah penghasilan real diketahui).
2.
Stelsel Anggapan (Flectieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada
suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasil suatu tahun
dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terhutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan
stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar
tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.
Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi
antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak
dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut
kenyataan lebih besar daripada besar pajak menurut anggapan, maka wajib pajak
harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.
Fungsi lain dari hukum pajak
adalah sebagai sumber bahan pertimbangan dalam menerapkan kebijakan-kebijakan
pajak yang dapat digunakan sebagai alat pengatur keadaan sosial maupun ekonomi
serta untuk mencapai tujuan berlainan. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut
meliputi asas pemungutan pajak yang pajak yang terbagi dalam:
a.
Asas domisili (Asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik
penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku
untuk wajib pajak dalam negeri.
b.
Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak
atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat
tinggal wajib pajak.
c.
Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan
dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia
dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat
tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk wajib pajak luar negeri.
Kebijakan-kebijakan lainnya juga
meliputi timbul dan hapusnya utang pajak. Ada dua ajaran yang mengatur
timbulnya utang pajak:
1.
Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini ditetapkan pada
official asesment system .
2.
Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena
berlakunya undang-undang. Seseoramg dikenai pajak karena suatu keadaan dan
perbuatan. Ajaran ini ditetapkan pada self assesment system.
Dihapusnya utang pajak dapat
disebabkan beberapa hal:
1.
Pembayaran
2.
Kompensasi
3.
Daluwarsa
4.
Pembebasan dan penghapusan
Penetapan tarif pajk pun
mengambil acuan dari hukum pajak. Tarif pajak itu sendiri terbagi dalam 4
macam:
1.
Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa presentase yang
tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenal pajak sehingga besarnya pajak
yang terutang proporsional terhadap berapa pun jumlah yang dikenal pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang
dikenai pajak.
2.
Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap
terhadap jumlah berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak
yang terutang tetap.
3.
Tarif Progresif
Persentase tarif yang digunakan
semakin besar apabila jumlah yang dikenal pajak semakin besar.
4.Tarif Degresif
Presentase tarif yang digunakan
semakin kecil jika jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
2.Tujuan Hukum Pajak
Tujuan utama dari sebuah hukum
pajak adalah menegakkan keadilan yang terdiri dari keadilan dalam pembuatan
peraturan-peraturan yang telah terutang di dalam undang-undang maupun dari segi
peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan pemungutan pajak itu sendiri.
Adapun sistem pemungutan pajak
yaitu
a.Official assesment system
Adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak dan menagihnya. Dalam system ini
kedudukan fiscus (aparat pajak) sangat dominan. Sistem ini juga memiliki
beberapa kekurangan yang pertama adalah kurang mendidik atau kurang
mendewasakan wajib pajak dan juga memungkinkan timbulnya kesewenangan-wenangan
dari pihak fiscus.
Ciri-ciri dari sistem official
assesment adalah sebagai berikut:
Wewenang untuk menentukan
besarnya pajak terutang pada fiscus.
1. Wajib pajak (pembayar) bersifat pasif
2. Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus.
b. Self assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-ciri dari system self assessment adalah sebagai berikut:
1.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada wajib pajak sendiri.
2.
Wajib pajak aktif mulai dari menghitung,, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3.
Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
c.
With holding system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiscus ataupun wajib pajak) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini adalah
sebagai berikut:
1.
Wewenang menetukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak lain fiscus dan wajib pajak.
2.
Hukum pajak bertujuan atas dasar keadilan pajak yang
terletak pada hubungan penduduk dengan negaranya. Dasar keadilan selanjutnya
adalah keadilan yang terletak pada akibat yang muncul dari pemungutan pajak,
yang berarti memungut pajak akan menarikdaya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali
kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat melalui
berbagai subsidi serta jasa dan barang yang bertujuan untuk melayani masyarakat
umum. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
3.
Tujuan hukum pajak selanjutnya yaitu memberikan jaminan
dalam bentuk perlindungan keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak yang
lainnya. Selain itu, untuk mendidik dan mendewasakan wajib pajak serta
meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk memahami pentingnya pajak bagi negara
maupun bagi masyarakat/penduduk itu sendiri. Maka hukum pajak pun memiliki
peran penting dalam aspek sosial.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum pajak
adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
melalui kas Negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum public yang
mengatur hubungan Negara atau orang-orang atau badan-badan hukum yang
berkewajiban membayar pajak. Hukum pajak dibedakan atas
a.
hukum pajak materil dan
b.
hukum pajak formil.
Negara mempunyai kekuatan untuk
memaksa, dan uang pajak tersebut harus digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintah.
3.2 Saran
keteladanan
dalam hal penunaian kewajiban pajak perlu mendapat
perhatian tersendiri. Keteladanan ini tentu saja harus dimulai
dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika
pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh dan
public figur lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa
pentingnya pajak bagi kehidupan dan masa depan negaranya. Sebaliknya, jika
pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah memperlihatkan
keingkarannya terhadap kewajiban pajak ini, masyarakat di bawah akan lebih
sulit lagi tersadarkan untuk membayar pajak.
DAFTAR PUSTAKA
-
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar
Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
-
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia,Jakarta
-
Harini, Sri, Dwiyanti. 2013. Pengantar
Hukum Inddonesia, Ghalia Indonesia, Bogor
-
-
-
-
-
4 comments:
IZIN copy gan untuk buat tugas kuliah saya.........dan saya akan jujur bahwa penulis makalah ni adalah agan ......SEKKIAN TERIMA KASIH
oke. silahkan gan
Dikunjungi Juga Blogku, Semoga Bermanfaat !
https://jawaramakalah.blogspot.com/2017/12/hukum-pajak-di-indonesia.html
Oke bro. Thanks udh berkunjung.��
Post a Comment