Terima Kasih Telah Berkunjung Ke MAKALAH UBB

Thursday, May 11, 2017

MAKALAH PERPAJAKAN - HUKUM PAJAK DI INDONESIA

MAKALAH
HUKUM PAJAK DI INDONESIA




DI SUSUN OLEH:

-          PENI ROZALINI            ( 3021411080)





3 MN 3
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2015





i


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala hidayah dan rahmat-Nya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan Makalah yang bertemakan Hukum Pajak di Indonesia. Makalah kami dapat kami tulis atas kerja sama para anggota dari kelompok kami. Dengan adanya Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pemahaman para pembaca tentang masalah yang ditulis dalam Makalah kami ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan Makalah ini. Dan semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.


                                                                                                   Balun Ijuk, 2 Agustus 2016

                                                                                                                  Penulis









                                                                ii 
                                             DAFTAR ISI
Halaman judul..........................................................................................................................i
Kata pengantar........................................................................................................................ii
Daftar isi.................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2  Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3  Tujuan Penulisan...............................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Sumber hukum dan perkembangan hukum pajak di indonesia........................................2
2.2 Pengertian hukum pajak...................................................................................................8
2.3 Sejarah dan perubahan hukum pajak................................................................................9
2.4 Fungsi dan tujuan hukum pajak.......................................................................................14
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................21
3.2 Saran.................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................22




                                                            

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.         LATAR BELAKANG
Pajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wajib pajak (masyarakat).  Pajak merupakan iuran wajib kepada Negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat balas jasa kembali secara langsung. karena itu banyak sekali pengertian pajak, dari pengertian dan tujuan pajak ini lah terdapat unsur yang membedakan antara pajak dan pungutan lain. Dari mulai timbulnya, pengertian, fungsi, dan jenis-jenis pajak kita dapat mengelompokan mana yang berupa pajak dan mana yang berupa pungutan dan bagaimana hukum pajak itu, hukum pajak pun mempunyai beberapa hubungan dengan hukum lain yang salah satunya adalah hubungan hukum pajak dengan hukum pidana

Pajak juga memiliki banyak hubungan dengan hukum-hukum yang lainnya yang secara umum terhubung dengan 2 (dua) ilmu hukum yang lain nya. Yang pertama hubungan hukum pajak dengan hukum perdata dan yang ke dua hubungan hukum pajak dengan hukum pidana.  

2.         Rumusan Masalah
1.      Sumber hukum dan perkembangan hukum pajak di Indonesia?
2.      Pengertian hukum pajak?
3.      Sejarah dan perubahan hukum pajak?
4.      Fungsi dan tujuan hukum pajak?

3.         Tujuan Penulisan
1.      Memahami Hukum Pajak di Indonesia.
2.      Memahami perkembangan hukum pajak di Indonesia.
3.      Memahami sejarah dan perubahan hukum pajak.
4.      Memahami fungsi dan tujuan hukum pajak.








BAB 2
PEMBAHASAN
2.1  Sumber Hukum dan Perkembangan Hukum Pajak di Indonesia.
a.       Sumber hukum pajak, terdiri dari:
1.      UUD 1945

Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang.”  Ketentuan  ini mengandung asas legalitas yang meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah yang diatur dengan undang-undang atau “No taxation without representation”.

Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A UUD 1945 yag berbunyi “pajak dan pugutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”Terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur dengan undang-undang.  Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga negara.

2.      Perjanjian Perpajakan

Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga menimbulkan beban yang tinggi terhadap Wajib Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak internasional agar Wajib pajak dari tiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan  juga dapat  mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion).

Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), baik perjanjian itu bersifat bilateral maupun multilateral, mengenai tarif atas bunga, deviden, royalti, dan sebagainya.



3.      Yurisprudensi Perpajakan
Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana pajak yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah Putusan Pegadilan Pajak maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4.      Doktrin Perpajakan
Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks di bidag perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak, mengingat substansi hukum yang terkandung dalm hukum pajak memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan hukum lainnya karena hukum pajak memiliki ciri khas tersendiri.

Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini, belum dapat diharapkan untuk menunjangpengembngan hukum pajak. Hal ini disebabkan karena kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum pajak.

b. Perkembangan Hukum Pajak di Indonesia,
Zaman dahulu sebelum terdapat negara yang teratur masih bersifat sederhana, dikuasai oleh seorang raja yang bertugas memelihara keamanan di wilayah kekuasaannya serta mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh, rumah tangga keuangannya belum sempurna dan masih sederhana. Namun pada zaman itu terasa juga kebutuhan akan uang membiyai pengeluaran umum negara seperti untuk membayar pegawai kerajaan, mengaji para prajurit, membangun gedung, jalan dan lain-lain. Pada waktu itu pemungutan pajak belum teratur, masih berupa setoran innatura seperti padi, ternak dan lain-lain atau melakukan pekerjaan guna kepentingan umum seperti mempelihara jalan, melaksanakan jaga bergiliran, rodi dan lain-lain. Dengan majunya suatu negara modern, maka tata cara pemungutan pajakpun menjadi teratur.
Berikut peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang.
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG  BERLAKU SEJAK PROKLAMASI SAMPAI DENGAN 1983
Pada umumnya peraturan-peraturan perundang-undangan perpajakan pada masa ini adalah peninggalan zaman belanda yang karena beberapa kesulitan belum dapat diganti, hanya mengalami beberapa perubahan untuk disesuaikan dengan kemajuan perekonomian. Merujuk pada Pasal II (Aturan Peralihan) UUD. 1945 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1952 antara lain menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951, semua Undang-Undang, Undang- Undang Darurat dan Ordonasi tentang Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia. Undang-undang yang menyatakan berlaku dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1952 adalah :
1. Undang-undang Pajak Radio (U.U. No 12 Tahun 1947).
2. Undang-undang Pajak Pembangunan (U.U. No 14 Tahun 1947).
3. Undang-undang Darurat Pajak Peredaran (U.U. No. 12 Tahun 1952).
4. Ordonansi Pajak Peralihan 1944 (Stbl. 1994 No. 17) kemudian menjadi Ordonasi Pajak  Pendapatan 1944.
5. Ordonansi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611).
6. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stbl. 1908 No. 13)
7. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No. 718).
8. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No. 291).
9. Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No 671)
10. Aturan Bea Materai 1921 (Stbl. 1921 No. 498)
11. Ordonansi Successie 1901 (Stbl. 1901 No 471)
12. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Stbl. 1932 No 405)
Pajak-pajak negara lain yang tidak disebutkan dalam Undang-undang No 4 Tahun 1952 diumumkan secara tersendiri seperti Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara 1952 No. 83). Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ekonomi keuangan Negara, atas Undang-undang perpajakan tersebut mengalami berbagai perubahan, misalnya dengan penghapusan peraturan, penggantian nama, perubahan status pajak negara menjadi pajak daerah dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan ekonomi di Indonesia, kemudian diundangkan beberapa Undang-undang perpajakan antara lain:
1.    Undang-undang Pajak Penjualan 1951 (kemudian diperbarui dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1968).
2.    Undang-undang Pajak Deviden (U.U. No. 21 Tahun 1959 yang kemudian diperbaruhi dengan Undang-undang Pajak atas Bunga Dividen dan Royalty 1970 (U.U. No. 10 Tahun 1967).
3.    Undang-undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (U.U. No. 19 Tahun 1959).
4.    Pajak Bangsa Asing (U.U. No. 74 Tahun 1958)
5.    Undang-undang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (U.U. No. 27 Tahun Tahun 1959).
6.    Undang-undang No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd.

            PKk dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO. Perkembangan selanjutnya ada beberapa Pajak Negara diserahkan ke Pemerintah Daerah yaitu :
1. Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Negara antara Pusat dan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1957 tentang penyerahan Pajak Negara kepada Daerah, telah diserahkan :
Kepala Daerah Tingkat I
Kepala Daerah Tingkat II
1) Pajak Rumah Tangga 1908
2) Pajak Kendaraan Bermotor 1934
3) Verponding 1928
1) Pajak Jalan 1942
2) Pajak Kopra
3) Pajak potong 1936
4) Pajak pembangunan I
5) Verponding Indonesia

2. Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara kepada :
Daerah Tingkat I
Daerah Tingkat II
Pajak Bangsa Asing 1958
Pajak Radio 1947


B. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU SEJAK 1983 YANG BELUM DIPERBARUHI
Menimbang bahwa peraturan perundangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah Penjajahan dalam rangka memperbesar kekuasaannya di tanah air kita.
Memasuki alam kemerdekaan, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan perundang di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah merdeka. Namun perubahan-perubahan tersebut belum menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar. Peraturan tersebut harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undangundang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjujung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
Berdasarkan perkembangan serta alasan tersebut diatas maka Pemerintah mensahkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang baru, yaitu :
1.                  Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) (L.N. No. 49 Tahun 1983, TLN No. 3262), yang telah berkali-kali diubah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
2.                  Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)(L.N. No. 50 Tahun 1983, TLN No. 3263), yang telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
3.                  Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPn Barang Mewah (L.N. No. 51 Tahun 1983, TLN No. 3264) yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000.
4.                  Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (L.N. No. 68 Tahun 1985, TLN No. 3312) yang telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994.
5.                  Undang-undnag No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (L.N. No. 69 Tahun 1983, TLN No. 3313).
2.2  Pengertian Hukum Pajak
Apabila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu, maka orang tersebut, perlu mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu yang akan dipelajarinya itu agar mudah memahami apa yang terkandung dalam ilmu itu. Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam ilmu sosial lainnya tidak ada yang pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut pandang masing-masing sarjana yang membuat definisi tersebut. Namun dalam bermacam-macam bunyi definisi itu, intinya akan sama.
Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas Negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum public yang mengatur hubungan Negara atau orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.

Hukum pajak dibedakan atas hukum pajak materil dan hukum pajak formil.

1)      Hukum materil memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak dan berapa harus membayar.
2)      Hukum formil, memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materil menjadi kenyataan.

Hukum pajak yang juga merupakan hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas Negara.

Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Dasar hukum pajak yang tertinggi adalah pasal 23A undang-undang dasar 1945 yang berbunyi, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ”. Asas undang-undang pajak yang universal adalah undang-undang pajak harus berdasarkan asas keadlian dan pemerataan dalam memikul beban pajak sesuai kemampuan masyarakat, nondiskriminasi, menjamin kepastian hukum, serrta mengatur adanya hak dan kewajiban yang seimbang antara rakyat dan Negara.







2.3  Sejarah dan Perubahan Hukum Pajak

A.    Sejarah Pajak di indonesia           
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.  Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu  aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1.      Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
2.      Aturan Bea Meterai;
3.      Ordonansi Bea Balik Nama;
4.      Ordonansi Pajak Kekayaan;
5.      Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
6.      Ordonansi Pajak Upah;
7.      Ordonansi Pajak Potong;
8.      Ordonansi Pajak Pendapatan;
9.      Undang-undang Pajak Radio;
10.  Undang-undang Pajak Pembangunan I;
11.  Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
1.                       UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
1.                       UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
2.                       UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
3.                       UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
4.                       UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs     atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
1.                       UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
2.                       UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3.                       UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
4.                       UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
5.                       UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:
1.                       UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
2.                       UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
3.                       UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
4.                       UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
1.                       UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
1.                       UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
2.                       UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
3.                       UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
4.                       UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
1.      UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
2.      UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
3.      UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
4.      UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
5.      UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
6.      UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
7.      Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policybeberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM  No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.
B.     Perubahan Hukum Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan atau yang kerap disebut Tax Reform. reformasi pajak (Tax Reform) adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Setidaknya terdapat lima tahap reformasi perpajakan di Indonesia, yaitu:

1.      Tax Reform yang Pertama pada tahun 1983–1985;
2.      Tax Reform yang Kedua pada tahun 1997;
3.      Tax Reform yang Ketiga pada tahun 1997;
4.      Tax Reform yang Keempat pada tahun 2000;
5.      Tax Reform yang Kelima pada tahun 2002-2009.
Latar belakang dilakukannya reformasi pajak yang dimulai pada tahun 1983, setidaknya ada beberapa hal dalam situasi perpajakan nasional pada saat itu yang melatar belakangi adanya reformasi pajak :

1.      Peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dikala itu adalah sebagai warisan zaman kolonial Belanda yang pemikiran, dan tujuan yang dibuat pada zaman tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat sejak Proklamasi tahun 1945. Pada zaman kolonial, pemungutan pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintah penjajahan. Sedangkan dalam alam kemerdekaan, pemungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan UUD 1945 untuk kemakmuran bangsa;
2.      Selain tidak sesuai kehidupan Bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat, peraturan pajak warisan Hindia Belanda dirasakan tidak memperhatikan azas dan aspek pemerataan, keadilan, kepastian hukum dan pertumbuhan ekonomi;
3.      Performa instansi pajak dan aparatnya yang kurang baik sehingga menimbulkan sikap masyarakat apatis dan berprasangka jelek terhadap pajak. Baik karena sistem perpajakan yang ada saat itu bukan saja tidak sesuai dengan perekonomian Indonesia yang makin modern, tapi juga sangat rumit dan sukar dipahami oleh pemungut pajak maupun oleh pembayar pajak, maupun sikap moral korup oknum-oknumnya. Dan berlanjut pada jumlah penerimaan pajak yang belum Optimal dan bisa dikatakan masih minim sekali terlihat dari jumlah Wajib Pajak yang masih sedikit dengan jumlah penerimaan yang sedikit pula terlihat dari Jumlah Penerimaan pada tahun anggaran 1983/1984 hanya sebesar Rp 2,3 trilyun. Serta sampai dengan akhir 1983 tax ratio penerimaan pajak dengan produk domestik bruto hanya sebesar 6,35% saja.
Disamping kondisi perpajakan di atas, pemicu utama sebagai latar belakang dilaksankannya tax reform tahap pertama adalah merosotnya harga ekspor minyak bumi pada masa Pasca Oil Boom yang pada Tahun Anggaran 1981/1982 Harga minyak sebesar US$ 35.00/barrel menurun menjadi US$ 29.53/barrel pada Tahun Anggaran 1983/1984. Merosotnya harga minyak di pasar internasional pasca Oil Boom menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun, defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat. Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1984). Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$ 2.888 juta menjadi US$ 4.151 juta (1983/1984). Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742 triliun (1983/1984).

Adapun beberapa alasan lainnya mengapa pemerintah melakukan reformasi pajak, yaitu:
1.      Sebagai upaya menstabilkan perekonomian yang tidak menentu karena pengaruh perekonomian internasional maupun nasional.
2.      Sebagai usaha mengalihkan sektor penerimaan APBN dari migas yang semula sebagai sektor primadona menjadi pajak sebagai sumber yang lebih dapat menjanjikan karena secara rasional pajak adalah penerimaan yang berkelanjutan tidak seperti migas.
3.      Usaha mengikuti ketentuan dunia terutama dalam hal pendanaan (pinjaman luar negeri) yang mensyaratkan struktur pajak yang ada harus disesuaikan dengan kondisi seharusnya.
4.      Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Harapannya dengan Reformasi Perpajakan, sistem perpajakan akan berintikan kesederhanaan, menunjang pemerataan dan memberikan kepastian dan keadilan. Sistem perpajakan baru tidak akan memungut pajak atas keseluruhan masyarakat, tetapi adalah upaya dalam memperoleh penerimaan negara yang berasal dari hasil pemungutan pajak terhadap perusahaan-perusahaan besar dan individu yang berpenghasilan.

TUJUAN REFORMASI PAJAK

Tujuan reformasi perpajakan adalah dalam rangka mewujudkan kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengoptimalkan segenap kemampuan dalam negeri terutama di bidang perpajakan. Pemerintahtelah menyadari bahwa untuk membiayai pengeluaran negara baik itu rutin maupun pembangunan pada saat ini dan masa yang akan datang kita tidak dapat lagi bergantung pada penerimaaan negara dari sumber minyak bumi dan gas alam maupun utang luar negeri. Oleh sebab itu peningkatan penerimaan pajak merupakan keharusan bagi terpenuhinya kebutuhan dana bagi pengeluaran negara terutama pembangunan. Reformasi perpajakan akan memudahkan tercapainya kehendak tersebut.
Reformasi perpajakan memiliki beberapa tujuan, yaitu antara lain untuk:
1.      Lebih menegakkan kemandirian Indonesia dalam membiayai pembangunan nasional;
2.      Meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pajak;
3.      Membuat beban pajak akan makin adil dan wajar;
4.      Meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak;
5.      Meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajak;
6.      Menerapkan prinsip konsep good governance, dengan adanya asas transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak;
7.      Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak baik kepada petugas pajak maupun kepada wajib pajak.

 PELAKSANAAN REFORMASI PAJAK DI INDONESIA

Sebelum dilakukannya Tax Reform beberapa jenis pajak yang ada di Indonesia adalah sebagaimana berikut ini:
1.      Staatsblad No. 13 Tahun 1908 tentang Ordinasi Rumah Tangga
2.      Staatsblad No. 498 Tahun 1921 tentang Aturan Bea Materai
3.      Staatsblad No. 291 Tahun 1924 tentang Ordinasi Bea Balik Nama
4.      Staatsblad No. 405 Tahun 1932 tentang Ordinasi Pajak Kekayaan
5.      Staatsblad No. 718 Tahun 1934 tentang Ordinasi Pajak Kendaraan Bermotor
6.      Staatsblad No. 611 Tahun 1934 tentang Ordinasi Pajak Upah
7.      Staatsblad No. 671 Tahun 1936 tentang Ordinasi Pajak Potong
8.      Staatsblad No. 17 Tahun 1944 tentang Ordinasi Pajak Pendapatan
9.      Staatsblad No. 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio
10.  Staatsblad No. 144 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan
11.  UU No. 12 Tahun 1952 tentang Pajak Peredaran
12.  UU Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan yang diubah UU No. 2 Tahun 1968
13.  UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Deviden yang diubah dengan UU No.  10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti
14.  UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa
15.  UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
16.  UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKk, dan PPs/ Tata Cara MPS-MPO

Sejalan dengan tuntutan perubahan zaman dan kebutuhan yang melatarbelakangi, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah guna mereformasi sistem perpajakan di Indonesia. Reformasi sistem perpajakan meliputi dua aspek yaitu :
1. Reformasi di bidang kebijakan perpajakan (Tax Policy Reform); melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPn Bm, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititik-beratkan pada pemberianrasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
2. Reformasi sistem administrasi perpajakan (Tax Administrative Reform), meliputi :
·         Penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan;
·         Pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Tax Payer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance;
·         Pembangunan KPP khusus Wajib Pajak menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak;
·         Pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online;
·         Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak; serta
·         Peningkatan efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional.


2.4 Fungsi dan Tujuan Hukum Pajak
1.      Fungsi Hukum Pajak

Selain memiliki tujuan keadilan, hukum pajak juga memiliki berbagai fungsi yang berdasar pada azas-azas yang bertujuan utama menyejahterakan penduduknya. Fungsi yang pertama dalam hukum pajak yaitu sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang harus memenuhi syarat keadilan, efisien, dan sederhana sejelas-jelasnya dalam undang-undang hukum pajak itu sendiri.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai sumber yang menerangkan tentang mana dan siapa subjek maupun objek yang perlu dan tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak di negara ini. Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban pajak kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan masing-masing orang.
Lebih lanjut hukum pajak pun memiliki fungsi sebagai penjelas tentang penggunaan/pemanfaatan dari hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum. Selanjutnya, hukum pajak juga memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi administrasi ataupun sanksi tata usaha, maupun sanksi pidana berupa penjara ataupun kurungan. Adapun sanksi administrasi berupa:
a.    Denda: Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan berupa denda berupa uang (harta) yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
b.    Bunga: Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran/penyetoran pajak, yang terdiri dari bunga pembayaran, bunga ketetapan, dan bunga penagihan.
c.    Kenaikan: Sanksi administrasi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan material.
Penetapan hak dan kewajiban bagi seorang fiskus maupun wajib pajak juga menjadi salah satu fungsi dari hukum pajak. Hak dan kewajiban wajib pajak, yaitu:

1.    Kewajiban wajib pajak
a.    Mendaftarkan diri menjadi wajib pajak dan pengusaha kena pajak
b.    Mengambil surat pemberitahuan sendiri ke kantor pajak atau tenpat-tempat lain yang telah ditentukan oleh Dirjen Pajak
c.    Mengisi surat pemberitahuandengan benar, lengkap, dan jelas serta menandatanganinya dan melaporkannya.
d.    Membayar pajak yang terhutang yang telah dihitung sendiri tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak atau tagihan pajak
e.    Menyelenggarakan pembukuan dan memperlihatkan pembukuan serta memberikan keterangan apabila dilakukan pemeriksaan
f.    Menyimpan dokumen-dokumen sebagai dasar perhitungan pajak
2.    Hak-hak wajib pajak
a.    Menghitung pajak sendiri
b.    Mengajukan perpanjangan jangka waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan
c.    Melakukan pembetulan surat pemberitahuan
d.    Mengajukan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran pajak atau kelebihan karena dipotong oleh pihak ketiga
e.    Mengajukan permohonan untuk mengansur pembayaran pajak
f.    Mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi, bunga atau kenaikan yang dikenakan
g.    Mengajukan pembetulan atas kesalahan SKP, STP, Surat Keberatan, SK Pengurangan au Penghapusan sanksi administrasi dan sebagainya
h.    Mengajukan keberatan apabila ditetapkan pajaknya lebih tinggi
i.    Mengajukan banding atas keputusan keberatan kepada badan peradilan pajak

Sedangkan fiskus mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut;
1.    Kewajiban fiskus:
a.    Melayani pendaftaran wajib pajak untuk meminta nomor pokok wajib pajak
b.    Melayani wajib pajak dalam pemberian formulir-formulir yang dibutuhkan untuk laporan-laporan
c.    Melayani untuk menerima laporan dari wajib pajak baik SPT Masa atau SPT Tahunan
d.    Memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu peyampaian SPT
e.    Memberikan persetujuan penundaan atau angsuran pmbayaran pajak yang diminta oleh wajib pajak
f.    Membetulkan SKP, STP, Surat Keberatan, SKP Pengurangan atau Penghapusan, sanksi administrasi apabila terjadi kesalahan
g.    Menerima keberatan wajib pajak termasuk yang mengajukan banding
2.    Hak-hak fiskus
a.    Menerbitkan NPWP dan NPPKP baik diminta oleh wajib pajak atau tidak (secara jabatan)
b.    Menerbitkan SKP atau STP
c.    Melakukan penagihan pajak
d.    Menerbitkan surat paksa dalam hal wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam SKP atau STP
e.    Melakukan pemeriksaan
f.    Meminjam dokumen-dokumen  pembukuan wajib pajak yang menjadi dasar perhitungan besranya pajak yang dibayar
g.    Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu
h.    Melakukan penyidikan pajak

Fungsi lain yang terkandung dalam hukum pajak yaitu untuk menghindari timbulnya hambatan-hambatan atau perlawanan dari pembayar pajak yang dapat merugikan negara (pemerintah). Adapun hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1.    Perlawanan Pasif
Yaitu perlawanan yang timbul dikarenakan masyarakat enggan (pasif) membayar pajak. Yang menjadi penyebab perlawanan itu antara
lain:
1.                  Perkembangan intelektual dan moral masyarakat,
2.                  Sistem perpajakan yang mungkin sulit  dipahami masyarakat,
3.                  Sistem kontrol tidak dapat dilaksanakan dengan baik,

2.      Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi usaha dan perbuatan yang secara  langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuk-bentuk perlawanan aktif antara lain:
1.Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang
2.Tax evasion, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang ataupun dapat disebut dengan penggelapan pajak.

            Fungsi hukum pajak selanjutnya adalah sebagai acuan dalam pemungutan pajak sehingga tidak mengganggu kegiatan atau kelancaran perekonomian dalam segala bidang. Adapun tata cara pemungutan pajak terbagi dalam 3 stelsel pajak antara lain:
1.                  Stelsel nyata (Riil Stelsel)
Pengenaan pajak berdasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan real diketahui).
2.                  Stelsel Anggapan (Flectieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasil suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terhutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.                  Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada besar pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
Fungsi lain dari hukum pajak adalah sebagai sumber bahan pertimbangan dalam menerapkan kebijakan-kebijakan pajak yang dapat digunakan sebagai alat pengatur keadaan sosial maupun ekonomi serta untuk mencapai tujuan berlainan. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut meliputi asas pemungutan pajak yang pajak yang terbagi dalam:


a.                   Asas domisili (Asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b.                  Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c.                   Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk wajib pajak luar negeri.
Kebijakan-kebijakan lainnya juga meliputi timbul dan hapusnya utang pajak. Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1.      Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini ditetapkan pada official asesment system .
2.      Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseoramg dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini ditetapkan pada self assesment system.
Dihapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal:
1.                  Pembayaran
2.                  Kompensasi
3.                  Daluwarsa
4.                  Pembebasan dan penghapusan
Penetapan tarif pajk pun mengambil acuan dari hukum pajak. Tarif pajak itu sendiri terbagi dalam 4 macam:
1.                  Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenal pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap berapa pun jumlah yang dikenal pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.


2.                  Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap terhadap jumlah berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. 
3.                  Tarif Progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar apabila jumlah yang dikenal pajak semakin besar.
4.Tarif Degresif
Presentase tarif yang digunakan semakin kecil jika jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

2.Tujuan Hukum Pajak
Tujuan utama dari sebuah hukum pajak adalah menegakkan keadilan yang terdiri dari keadilan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang telah terutang di dalam undang-undang maupun dari segi peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan pemungutan pajak itu sendiri.
Adapun sistem pemungutan pajak yaitu
a.Official assesment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak dan menagihnya. Dalam system ini kedudukan fiscus (aparat pajak) sangat dominan. Sistem ini juga memiliki beberapa kekurangan yang pertama adalah kurang mendidik atau kurang mendewasakan wajib pajak dan juga memungkinkan timbulnya kesewenangan-wenangan dari pihak fiscus.
Ciri-ciri dari sistem official assesment adalah sebagai berikut:
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiscus.
1.      Wajib pajak (pembayar) bersifat pasif
2.      Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus.
b.      Self assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari system self assessment adalah sebagai berikut:
1.      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
2.      Wajib pajak aktif mulai dari menghitung,, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3.      Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi

c.    With holding system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus ataupun wajib pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini adalah sebagai berikut:

1.      Wewenang menetukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak lain fiscus dan wajib pajak.
2.      Hukum pajak bertujuan atas dasar keadilan pajak yang terletak pada hubungan penduduk dengan negaranya. Dasar keadilan selanjutnya adalah keadilan yang terletak pada akibat yang muncul dari pemungutan pajak, yang berarti memungut pajak akan menarikdaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai subsidi serta jasa dan barang yang bertujuan untuk melayani masyarakat umum. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

3.      Tujuan hukum pajak selanjutnya yaitu memberikan jaminan dalam bentuk perlindungan keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak yang lainnya. Selain itu, untuk mendidik dan mendewasakan wajib pajak serta meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk memahami pentingnya pajak bagi negara maupun bagi masyarakat/penduduk itu sendiri. Maka hukum pajak pun memiliki peran penting dalam aspek sosial.


BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas Negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum public yang mengatur hubungan Negara atau orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak. Hukum pajak dibedakan atas
a.       hukum pajak materil dan
b.      hukum pajak formil.
Negara mempunyai kekuatan untuk memaksa, dan uang pajak tersebut harus digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah.
3.2  Saran
keteladanan dalam  hal penunaian  kewajiban pajak perlu mendapat perhatian tersendiri. Keteladanan  ini tentu saja harus dimulai dari  jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika pemerintah  mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh dan public figur lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa pentingnya pajak bagi kehidupan dan masa depan negaranya. Sebaliknya, jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah memperlihatkan keingkarannya terhadap kewajiban pajak ini, masyarakat di bawah akan lebih sulit lagi tersadarkan untuk membayar pajak.














DAFTAR PUSTAKA
-          Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
-          Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,Jakarta
-           Harini, Sri, Dwiyanti. 2013. Pengantar Hukum Inddonesia, Ghalia Indonesia, Bogor
-           
-           
-           
-           
-           



4 comments:

Unknown said...

IZIN copy gan untuk buat tugas kuliah saya.........dan saya akan jujur bahwa penulis makalah ni adalah agan ......SEKKIAN TERIMA KASIH

Unknown said...

oke. silahkan gan

Zavier Brilliant said...

Dikunjungi Juga Blogku, Semoga Bermanfaat !
https://jawaramakalah.blogspot.com/2017/12/hukum-pajak-di-indonesia.html

Unknown said...

Oke bro. Thanks udh berkunjung.��

Judul Diunggulkan

JURNAL PENELITIAN PEMERIKSAAN AKUNTANSI - PEMERIKSAAN TERHADAP PIUTANG DAGANG

Pemeriksaaan Terhadap Piutang Dagang ( Account Receivable) Pada PT Bintang Baru Terus Jaya Oleh: Riza Marveni 1 Ri z ky Purnom...