Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji
syukur Penulis panjatkan pada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya Penulis
dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pajak Penghasilan (lanjutan)”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan.
Penulis berterima kasih kepada Bapak Rizki,
S.Pd.,M.Akt., selaku dosen mata kuliah Perpajakan yang telah memberikan tugas
ini kepada kami.
Penulissangat berharap makalah ini dapat
berguna untuk menambah wawasan serta menambah pengetahuan kita tentang Perpajakan.Penulisjuga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Untuk itu Penulis
berharap adanya saran dan kritikan yang membangun demi perbaikan makalah ini
untuk masa yang akan datang.
Demikianlah kata pengantar dari Penulis, semoga makalah ini dapat berguna dan
dapat dipahami bagi siapa pun yang membacanya. Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata di dalam makalah ini. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Balunijuk, 28Januari
2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ 1
DAFTAR
ISI............................................................................................................ 2
I
PENDAHULUAN................................................................................................. 3
1.1.
Latar Belakang....................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah................................................................................... 3
1.3. Tujuan..................................................................................................... 3
II
PEMBAHASAN.................................................................................................. 4
2.1. Subjek Pajak Penghasilan.............................................................................. 4
2.2. Objek Pajak Penghasilan............................................................................... 7
2.3. Mekanisme Pemajakan dan Perhitungan PPh............................................... 15
III
PENUTUP.......................................................................................................... 22
1. Kesimpulan...................................................................................................... 22
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 23
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak
Penghasilan (PPh) berlaku sejak januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa
kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan undang-undang Nomor 36
Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan, dalam unddang-undang PPh disebut wajib
pajak.
Undang-Undang PPh
menganut asas Materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak
tergantung kepada surat ketetapan pajak. Oleh karena itu dalam makalah ini
kelompok kami menjabarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pajak
penghasilan dimana didalamnya termuat beberapa bahasan yaitu mengenai subjek pajak yang dikenakan dalam pajak
penghasilan, objek pajak penghasilan serta mekanisme pemajakan dan pemungutan
pajak penghasilan
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa
itu subjek pajak dan wajib pajak?
2. Siapa
saja yang termasuk subjek pajak dalam Pajak Penghasilan?
3. Apa
sajakah yang termasuk dalam objek pajak dalam pajak penghasilan?
4.
Bagaimanakah Mekanisme Pemajakan dan Perhitungan Rumus Umum PPh?
1.3 Tujuan Pembahasan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui pengertian dari subjek pajak dan wajib pajak
2.
Mengetahui siapa saja yang termasuk
dalam subjek pajak dalam pajak penghasilan
3.
Mengetahui apa saja yang termasuk dalam
objek pajak PPh
4.
Mengetahui mekanisme pemajakan dan
perhitungan PPH
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Subjek Pajak
Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah:
1. Orang
pribadi;
Orang
pribadi sebagai subjek dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun
luar negeri Indonesia.
2. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggatikan yang berhak.
Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang ditinggalkan oleh orangpribadi
Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang
berarti dalam hal ini adalah status
pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan
tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan
tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
3. Badan.
Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi, perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD, badan usaha milik
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Bentuk
usaha tetap.
Yang
dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (setaus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu (12) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia,
yang dapat berupa:
Subjek Pajak Dalam
Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek
pajak dalam negeri dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia terdiri
dari:
a. Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; atau
·
Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu12 (dua belas) bulan.
·
orang pribadi yang dalam tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan,
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
· Pembentukannya
berdasarkan kemampuan perundang-undangan ;
· Pembiayaan
bersumber dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
· Penerimaannya
dimasukan dalam anggaran Pemerintah pusat atau Pemerintahan Daerah; dan
· Pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
c. Subjek Pajak Warisan
Yaitu warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak luar
negeri adalah:
1. Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia;
2. Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
indonesia.
Kewajiban pajak
subjektif
Kewajiban
pajak subjektif mengandung arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah
memenuhi syarat untuk dikenakan pajak Penghasilan dilihat dari sudut
subjeknya.. Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk
wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Dimulai pada saat orang
pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tingga di
Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
2. Untuk
subjek pajak badan dalam negeri
Dimulai pada saat badan
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Untuk
subjek pajak luar negeri berupa BUT:
Dimulai pada saat orang
pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi
menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
4. Untuk
subjek pajak luar negeri non BUT
Dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan
tersebut.
5. Untuk
warisan yang belum dibagi
Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan dan berakhir pada saat warisan selesai
dibagikan.Jangka waktu pengenaan pajak penghasilan ini dinamakan tahun pajak
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 UU Pajak Penghasilan. Tahun pajak ini
pada umumnya adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember.Jika kewajiban pajak subjektif bermula atau berakhir di pertengahan
akhir pajak, maka pengenaan pajak ini tidak penuh dalam satu tahun pajak tetapi
dalam bagian tahun pajak.
Tidak termasuk subjek
pajak
Yang
tidak termasuk subjek pajak adalah:
1. Kantor
perwakilan negara asing;
2. Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik, dan konsultan, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :
·
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut.
·
negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
a. Indonesia
menjadi anggota organisasi terrsebut;
b. Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangandengan syarat:
·
bukan warga negara Indonesia.
·
tidak menjalankan usaha atau kegiatan
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.2 OBJEK PAJAK
Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
b. Hadiah
dari undian, pekerjaan, atau kegiatan dan penghargaan;
Yang dimaksud dengan
hadiag adalah hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian
tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
c. Laba
usaha
Laba usaha adalah
selisih lebih antara penjualan dikurangi dengan harga pokok penjualan dan
beban-beban usaha.
Laba Usaha = Penjualan – Harga
Pokok Penjualan + Beban Beban Usaha
d. Keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
· Keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;.
· Keuntungan
yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
Maksudnya penjualan
harta terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang
dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut
adalah harga pasar.
· Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;
Jika suatu badan
likuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual
berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek
pajak. Sama halnya dengan selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa
buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
·
Keuntungan karena pengalihan harta
berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
·
Keuntungan karena penjualan atau
pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak, merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, pajak
bumi dan bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena
suatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan
penghasilan.
f. Bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
Premium terjadi apabila
misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto
terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium
tersebut merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
g. Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Dividen merupakan bagian laba yang
diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil
usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Dalam praktek sehari-hari sering dijumpai
pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal
pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman
kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Jika terjadi hal
yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat
bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang
diperlukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
perseroan yang bersangkutan.
h. Royalti;
Imbalan atau
penggantian berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan
dengan penggunaan:
1) Hak
atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula,
atau rahasia perusahaan;
2) Hak
atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu
pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya
peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan
pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
3) Informasi,
yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum
dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya.
Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia
sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan
informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi adalah informasi
yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik
sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang
mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Menurut Undang-Undang PPh, royalti
adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. Penggunaan
atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, patem, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa
lainnya;
2. Penggunaan
atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;
3. Pemberian
pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau
komersial;
4. Pemberian
bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/ perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada angka 3, berupa :
· Penerimaan
atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa;
· Penggunaan
atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk
siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel,
serat optik, atau teknologi yang serupa;
· Penggunaan
atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. Penggunaan
atau hak menggunakan film gambar hidup (notion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
6. Pelepasan
seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberikan
hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut
di atas.
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
Yang dimaksud dengan
sewa adalah imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, seperti
sewa mobil, sewa alat berat, sewa kantor, sewa rumah dan sewa gudang.
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala;
Penerimaan berupa
pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang
dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. Keuntungan
berupa pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan utang oleh
pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula
berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Namun demikian, dengan
Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur misalnya
Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil
lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l.
Keuntungan karena selisih kurs mata uang
asing;
Keuntungan karena
selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata yang asing atau adanya
kebijaksanaan Pemerintah di bidang
moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing,
pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh wajib
pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keungan.
m. Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
Untuk dapat melakukan
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, wajib
pajak tidak lagi menyampaikan
pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melainkan wajib mengajukan
permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak
tempat wajib pajak terdaftar, untuk mendapatkan Keputusan Persetujuan Direktur
Jenderal Pajak terlebih dahulu.
Permohonan wajib pajak
harus dilampiri dengan:
· Fotokopi
surat ujin usaha penilai yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang
berwenang memberikan surat ijin usaha tersebut;
· Laporan
penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui
pemerintah;
· Daftar
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan;
· Laporan
Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap yang telah
diaudit akuntan publik;
· Surat
Keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat wajib pajak terdaftar.
n. Premi
asuransi;
Perhitungan tingkat
premi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktek asuransi yang berlaku
umum.
Penetapan tarif premi
asuransi kerugian harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
1. Premi
murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile) jenis
asuransi yang bersangkutan untuk sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir;
2. Biaya
akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya.
Penetapan
tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan
sekurang-kurangnya:
1. Premi
murni yang dihitung berdasarkan tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel
morbidita yang dipergunakan;
2. Biaya
akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya;
3. Prakiraan
hasil investasi dari premi.
o. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
Iuran yang dibayar oleh
anggota kepada perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya ditentukan
berdasarkan volume ekspor, satuan produksi atau satuan penjualan adalah
penghasilan bagi perkumpulan tersebut.
p. Tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto
pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak
dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak. Jika diketahui
adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah
dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto yang
melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek
pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. Penghasilan
dari usaha yang berbasis syariah;
Kegiatan usaha berbasis
syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang
bersifat konvensional.
r.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
dan
s. Surplus
Bank Indonesia.
PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN TERTENTU
Sesuai
dengan pengertian tentang penghasilan yang luas, yang dianut oleh Undang-Undang
Pajak Penghasilan Indonesia, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak
bersifat final:
a. Penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan
berupa hadiah undian;
c. Penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
d. Penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
e. Penghasilan
tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Dengan
mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak
menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak, maka pengenaan pajak penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat
final.Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut pajak penghasilan yang
bersifat final.Besarnya pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaski penjualan.”
TIDAK TERMASUK
OBJEK PAJAK
Penghasilan-penghasilan tertentu yang
diterima atau diperoleh wajib pajak tidak dikarenakan pajak penghasilan (yang
tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :
1. Bantuan
sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak;
2. Harta
hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau Menteri Keungan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
a. Warisan;
Yang dimaksud dengan
warisan di sini adalah peninggalan harta dari keluarga yang sedarah satu garis
lurus di atas ahli waris.
b. Harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyerahan modal;
c. Penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura (benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah;
d. Pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa;
e. Dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat.
f. Iuran
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keungan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
g. Penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam bidang-bidang tertentu yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keungan;
h. Bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
i.
Bunga obligasi yang diterima atau
diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian
perusahaan atau pemberian ijin usaha (dihapus dalam Undang Undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009).
j.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
k. Merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
l.
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia.
m. Beasiswa
yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keungan;
n. Sisa
lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitiann dan pengembangan, yang
telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan
pengembangan , dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa
lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
o. Bantuan
atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.3MEKANISME
PEMAJAKAN PPH DAN RUMUS UMUM MENGHITUNG PPH
Pada dasarnya
jika subjek pajak dan objek pajak dari pajak penghasilan sudah ditentukan, kita
langsung dapat menghitung besarnya PPh terutang untuk menetukan berapa besarnya
sebagian penghasilan (harta kekayaan rakyat) yang harus diberikan kepada negara
oleh rakyat yang menerima atau memperoleh penghasilan. Tetapi sebelum kita
membahas cara menghitung besarnya PPh terutang, kita terlebih dahulu harus
mengetaahui siapa yang diwajibkan untuk menghitung besarnya PPh terutang,
menyetorkannya ke kas negara dan mempertanggunjawabkannya, dan mengenai kapan
rakyat atau wajib pajak harus menghitung sebagian penghasilannya yang harus
dibayar ke negara.
1.
Sistem
Pemajakan PPh
Ketentuan
mengenai siapa yang diwajibkan menghitung besarnya PPh terutang serta bagaimana
tata cara menyetor dan mempertanggungjawabkan kewajibannya itu disebut
ketentuan mengenai tata cara pemajakan atau mekanisme pemajakan atau prosedur
pemajakan atau administrasi perpajakan PPh.
Pada prinsipnya
WP (Tak Payer) itu sendiri harus
menghitung dan menetapkan berapa besarnya PPh terutang lalu segera
melunasi/membayar sendiri ke kas negara. Cara ini dinamakan cara menetapkan dan
membayar pajak sendiri (Self Assesment
System) (dasar hukumnya adalah Pasal 12 UU No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No. 16 Tahun 2000 yang disingkat UU KUP). Istilah Self Assesment System adalah istilah
hukum. Sedangkan istilah administrasinya adalah Self Taxing System (Sistem Pemajakan Sendiri).
Pengertian sistem
pemajakan sendiri adalah WP yang menerima atau memeperoleh penghasilan
(menanggung beban pajak) itu sendiri yang menghitung dan menetapkan besarnya
pajak yang harus dibayarnya, membayarnya ke kas negara dan melaporkan
perhitungan dan pembayaran pajak tersebut ke aparat pajak, serta
mempertanggungjawabkannya.
Self Assesment
System atau sistem pemajakan sendiri memiliki kelemahaan, yaitu WP bisa
melakukan penyelundupan pajak, misalnya dengan menyembunyikan penghasilannya
atau melaporkannya dengan tidak benar, dan lain-lain. Untuk melengkapi atau
menutupi kelemahan sistem ini, maka pemajakan PPh juga dilakukan dengan cara:
Sistem Pemotongan (pajak) oleh
pihak ketiga (With Holding System). Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah
pihak yang membayarkan atau terutang penghasilan. Pihak ketiga itu disebut
pemotong PPh. Jadi yang menghitung dan menetapkan besarnya PPh terutang adaalah
pemotong PPh, bukan WP sebagai pihak yang menerima penghasilan. Setelah
menghitung besarnya PPh terutang, maka pemotong PPh tersebut memotong dari
penghasilan tersebut sebesar PPh yang telah dihitungnya dan menyetorkannya ke
kas negara untuk dan atas nama penerima penghasilan. Lalu pihak ketiga tersebut
(Pemotong PPh) melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dan mempertanggungjawabkannya.
Jika pemotong PPh melakukan kesalahan dalam memotong PPh, maka sanksi
administrasi perpajakan akan dikenakan terhadap Pemotong PPh, bukan kepada WP
penerima penghasilan.
Setiap
badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, Subjek Pajak Badan Dalam Negeri,
Sujek Pajak Warisan yang Belum terbagi, Subjek Pajak BUT, dan perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya secara otomatis (ditentukan langsung oleh UU
PPh) menjadi pemotong PPh. Sedangkan Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
baru menjadi Pemotong PPh jika ia ditunjuk melalui keputusan Dirjen Pajak
sebagai Pemotong PPh. Mereka adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
yang WNA (Warga Negara Asing) atau Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang
menyelenggarakan pembukuan dan/ atau yang berprofesi sebagai tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas (yang dimaksud dengan tenaga ahli adalah Subjek Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri yang melakukan pekerjaan bebas yang meliputi Dokter,
Pengacara, Notaris, PPAT selain Camat, Akuntan, Konsultan, Aktuaris, Penilai,
Arsitek). Dan mereka hanya terbatas sebagai Pemotong PPh atas penghasilan sewa.
Pemajakan dengan sistem pemotongan dan pemungutan disebut pemajakan pada
sumber/asal penghasilan, sehingga sulit bagi WP yang menerima atau memperoleh
penghasilan menggelapkan penghasilannya. Karena penghasilan yang diterima atau
diperolehnya tersebut dilaporkan ke Kantor Pajak oleh pihak yang membayarkan.
2.
Pemajakan
Secara Periodik dan Saat Terutang Pajak Penghasilan
Penghitungan
dan penyetoran/pembayaran PPh ke negara dimulai jika berdasarkan UU PPh
(berdasarkan kesepakatan antar rakyat yang diwakili oleh Parlemen Negara yang
diwakili oleh Eksekutif yang dituangkan dalam UU PPh) telah timbul kewajiban
dari rakyat atau Wajib Pajak untuk membayar PPh ke negara atau telah. timbul
hak negara untuk menagih PPh dari Wajib Pajak tersebut. Ketentuan mengenai
kapan timbulonya kewajiban Wajib Pajak untuk membayar sebagian penghasilannya
disebut ketentuan mengenai saat timbulnya utang PPh atau saat terutangnya PPh.
Kita mengenal istilah janji adalah utang, artinya utang timbul karena
perjanjian. Demikian pula halnya dengan perpajakan, utang PPh itu timbul karena
perjanjian, yaitu perjanjian antara rakyar itu sendiri yang diwakili oleh
parlemen dan negara yang diwakili oleh eksekutif dimana perjanjian itu
dituangkan dalam bentuk UU yang disebut UU Pajak.
Untuk
PPh yang dihitung atau dipajaki pada setiap tahun pajak berakhir disebut Utang
PPh Tahunan atau PPh Tahunan Terutang dan dibedakan atas utang:
a. PPh
Tahunan WP Orang Pribadi (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan
terhadap WP Orang Pribadi Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan
yang dikenai PPh bersifat tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun
dari awal tahun sampai akhir tahun.
b. PPh
Tahunan WP Badan (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Badan Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh
bersifat tidak final yang siterima atau diperolehnya selama setahun dari awal
tahun sampai akhir tahun.
c. PPh
Tahunan BUT (WP orang Pribadi/Badan Luar Negeri BUT), yaitu PPh tahunan yang
dikenakan terhadap WP BUT pada akhir tahun atas semua penghasilan yang
dikenakan PPh bersifat tidak final yang diterima atau diperolehnya selama
setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
d. PPh
Tahunan WP Warisan yang belum terbagi, yaitu PPh tahunan yang dikenakan
terhadap WP Warisan yang belum etrbagi pada akhir tahun atas semua penghasilan
yang dikenai PPh bersifat tidak final yang diterima atau diperolehnya selama
setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
e. PPh
Tahunan Pasal 21. PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang
Pribadi dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri khusus atas penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final berupa
penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima atau diperolehnya
dari awal tahun sampai akhir tahun bersangkutan. Ketentuan mengenai mekanisme
pemajakan PPh Tahunan Pasal 21 diatur di Pasal 21 UU PPh sehingga disebut PPh
Pasal 21.
3.
Uang
Muka PPh
Mengingat Pemajakan
setelah tahun pajak berakhir mengandung kelemahan berupa:
a.
Terbukanya peluang bagi WP untuk
menggelapkan penghasilan yang diterima atau diperolehnya pada awal-awal tahun,
kemungkinan WP sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membayar PPh pada akhir
tahun karena sudah habis dipakai sehingga menyulitkan penerimaan negara.
b.
Mengingat WP untuk membayar utang PPh
Tahunan dalam jumlah besar dan lain-lain.
c.
Demi bisa melakukan cek silang untuk
kepentingan intensifikasi WP.
d.
Mencegah penyelundupan pajak dan
lain-lain.
Maka UU PPh menentuka bahwa pada saat
menerima atau memperoleh penghasilan terutama selama satu tahun berjalan, WP
yang menerima atau memperoleh penghasilan tertentu tersebut diharuskan membayar
uang muka PPh dalam jumlah tertentu dari penghasilan tertentu itu melalui
sistem pemotongan atau pemungutan atau pemajakan sendiri. Ketentuan tersebut
diatur di BAB V UU PPh tentang Pelunasan PPh Selama Tahun Berjalan (Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25). Nanti pada akhir tahun pajak,
penghasilan itu ditambah dengan penghasilan lain yang tidak dikenai uang muka
PPh dikenai PPh tahunan (dihitung PPh tahunan terutang). Sedangkan uang muka
PPh yang telah dibayar selama tahun berjalan tersebut bisa diperhitungkan
sebagai kredit pajak (pengurang) dari PPh Tahunan Terutang (Bab V UU PPh
Tentang Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun).
4.
Rumus
Umum Perhitungan PPh
Cara
Menghitung PPh Terutang, baik PPh Tahunan Terutang, PPh Final Terutang, maupun
Uang Muka PPh Terutang bisa disajikan berupa rumus umum perhitungan PPh
Terutang sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Tarif
Pajak x Tarif PPh = PPh Terutang
(Base x Rate = Tax)
Dasar pengenaan pajak adalah suatu
jumlah yang terhadapnya langsung diterapkan tarif pajak.
Dalam UU PPh, Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) dibedakan menjadi dua yaitu
1. DPP
untuk pemajakan PPh bulanan hak pemajakan PPh final maupun pemajakan uang muka
PPh adalah
a. Penghasilan
bruto atau jumlah bruto tanpa PPN/PPnBM, atau
b. Perkiraan
penghasilan netto (penghasilan netto yang dikira-kira saja).
2. DPP
untuk pemajakan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak/buku adalah Penghasilan Kena
Pajak (PKP). PKP dihitung sebagai berikut:
a. Bagi
WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak wajib pembukuan (omset setahun tidak
melampaui 600 juta) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan norma
penghitungan penghasilan neto. Norma penghitungan penghasilan neto merupakan
suatu persentase yang besarnya ditentukan oleh Dirjen Pajak (Pasal 14 UU PPh).
b. Bagi
WP yang wajib pembukuan (WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang omset setahun
melebihi 600 juta, Wp Badan Dalam Negeri, WP BUT, dan WP Warisan yang belum
terbagi) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya atau
pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
tersebut (Pasal 6 sd 11, Pasal 9 dan 18 UU PPh) serta kompensasi kerugian
fiskal. Perhitungan ini mirip dengan perhitungan laba netto dalam akuntansi.
c. Bagi
WP yang wajib pembukuan, tetapi karena sifat usahanya sulit menetukan
penghasilan neto (seperti Wp yang bergerak di bidang pelayanan atau penerbangan
internasional), PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan Norma
Penghitungan Khusus. Norma Penghitungan Khusus merupakan suatu persentase yang
besarnya ditentukan oleh Menteri Keuangan yang mendapat wewenang dari UU PPh
(Pasal 15 UU PPh).
jadi dalam menghitung
PKP untuk menjadi DPP, kita peratama-tama harus menghitung penghasilan netonya
terlebih dahulu.
Tarif PPh
Tarif
PPh dibedakan atas:
1.
Tarif Pasal 17
Tarif Pasal 17 untuk WP Dalam
Negeri (orang pribadi/badan/warisan yang belum dibagi) dan WP BUT sebagaimana
diatur di Pasal 17 UU PPh. Disebut tarif Pasal 17 karena ketentuannya diatur di
Pasal 17 UU PPh. Tarif Pasal 17 digunakan untuk menghitug PPh tahunan dan PPh
bulanan Pasal 21.
2.
Tarif Fiksi/Khusus
Tarif fiksi/khusus
yaitu tarif yang besarnya ditentukan berdasarkan kira-kira saja oleh UU PPh,
seperti tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% atau oleh pejabat yang diberi wewenang
oleh UU PPh (bisa Presiden, Menteri Keuangan, Dirjen Pajak), seperti tariif PPh
final dan tarif PPh Pasal 22. Tarif Fiksi/Khusus digunakan untuk pemajakan
bulanan, PPh Final, Uang Muka PPh seperti PPh bulanan Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23.
3.
Tarif Pasal 26
Tarif Pasal 26 untuk WP luar negeri
selain BUT sebagaimana diatur di Pasal 26 UU PPh. Dinamai tarif Pasal 26 karena
ketentuannya diatur di Pasal 26 tarif PPh. Tarif Pasal 26 digunakan untuk
pemajakan/perhitungan pasal 26.
Besarnya
Tarif
Tarif Pasal 17 untuk
pemajakan PPh Tahunan dan PPh Bulanan Pasal 21 dibedakan atas tarif Pasal 17
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan tarif Pasal 17 untuk WP Badan
Dalam Negeri dan WP BUT.
Tarif
Pasal 17 ayat 1a untuk WP Orang Pribadi Dalam Negeri sebesar
Untuk Lapisan PKP
|
Tarif
|
> 0,00 s/d
25.000.000,00
|
5%
|
>25.000.000,00
s/d 50.000.000,00
|
10%
|
>.000.000,00 s/d
100.000.000,00
|
15%
|
>100.000.000,00
s/d 200.000.000,00
|
25%
|
>200.000.000,00
|
35%
|
Mekanisme perpajakan dan rumus
umum menghitung PPh
Mekanisme perhitungan PPh pasal 21
Secara umum
rumus menghitung PPh 21 adalah:
Penghasilan Bersih per bulan
|
xxx
|
|
Penghasilan bersih disetahunkan
|
xxx
|
(x12 bulan)
|
PTKP
|
xxx
|
(-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
xxx
|
|
PPh Terutang setahun
|
xxx
|
(x tarif PPh 21)
|
PPh Terutang per bulan
|
xxx
|
(÷ 12 bulan)
|
Secara umum, langkah-langkah atau mekanisme dalam
penghitungan umum PPh Badan adalah sebagai berikut:
1. Menghitung
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal dikurangi dengan kompensasi kerugian fiskal
Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal dikurangi dengan kompensasi kerugian fiskal
2. Menghitung
PPh Terutang
Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi dengan pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang telah diperhitungkan tahun lalu
Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi dengan pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang telah diperhitungkan tahun lalu
PPh Terutang = Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh
Badan
atau dapat dijelaskan sebagai berikut:
Peredaran Bruto
|
Rp xxxxx
|
|
Biaya – biaya
|
Rp xxxxx
|
|
------------------
|
-
|
|
Penghasilan Neto
|
Rp xxxxx
|
|
Kompensasi Kerugian
|
Rp xxxxx
|
|
------------------
|
-
|
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp xxxxx
|
|
Tarif Pajak
|
xxx %
|
|
------------------
|
X
|
|
PPh Terutang
|
Rp xxxxx
|
|
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak penghasilan adalah pajak yang
dikenakan pada sorang pribadi maupun badan atas penghasilan yang diperolehnya
pada periode tahun pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Jadi
jika orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat subjektif (telah memenuhi
syarat sebagai subjek pajak) dan telah memenuhi syaraat objektif (telah
menerima atau memperoleh penghasilan), maka orang pribadi atau badan tersebut
otomatis menjadi wajib pajak.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. Mardiasmo, MBA.,AK, Dkk. 2011.
Perpajakan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Markus, muda. 2005. Perpajakan Indonesia
(Suatu Pengantar). Jakarta: PT. Gramedia Putaka Utama.
Dr. Gunadi. 2001. Ketentuan Dasar
Pajak Penghasilan. Jakarta: Salemba.
Daftar
Pustaka
Prof. Dr. Mardiasmo, MBA.,Ak, .
2011. Perpajakan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Wahyuningsih ,
Tiesnawati.(2015).Administrasi Perpajakan.Banten:Universitas terbuka.