MAKALAH
Jenis-Jenis PPh Pasal 15,19,21,22,23,24,25,26,29
Dosen Pembimbing : Rizki,
S.Pd., M.Akt.
DI SUSUN OLEH:
-
Mutiara Agustin (3021411066)
-
Peni Rozalini (3021411080)
-
Riza Eka Saputri (3021411095)
5 MN 3
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
BANGKA BELITUNG
2016
i
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala hidayah dan rahmat-Nya, sehingga
kelompok kami dapat menyelesaikan Makalah yang bertemakan Jenis-Jenis Pajak Penghasilan.
Makalah kami dapat kami tulis atas kerja sama para anggota dari kelompok kami.
Dengan adanya Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pemahaman para
pembaca tentang masalah yang ditulis dalam Makalah kami ini.
Dalam
penyusunan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena itu,
kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan Makalah ini. Dan semoga
Makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Balun Ijuk, 7 Oktober 2016
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
Halaman
judul..........................................................................................................................i
Kata
pengantar........................................................................................................................ii
Daftar
isi.................................................................................................................................iii
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3 Tujuan
Penulisan...............................................................................................................1
BAB
2 PEMBAHASAN.........................................................................................................2
2.1 PPh Pasal
15.......................................................................................................................2
2.2 PPh Pasal
19.......................................................................................................................5
2.3
PPh Pasal
21.......................................................................................................................6
2.4
PPh Pasal
22.......................................................................................................................
2.5
PPh Pasal
23.......................................................................................................................
2.6
PPh Pasal
24......................................................................................................................
2.6
PPh Pasal
25......................................................................................................................
2.7
PPh Pasal
26.....................................................................................................................
2.8
PPh Pasal
29......................................................................................................................
BAB
3 PENUTUP..................................................................................................................13
3.1
Kesimpulan.......................................................................................................................13
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pajak penghasilan merupakan pajak
yang dipungut kepada obyek pajak atas penghsilan yang diperolehnya. PPh akan
selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang
memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib
pajak diwajibkan untuk membayar pajak.
Bagi perusahaan, pajak merupakan
sumber pengeluaran(cash disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk
perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk
membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkanPada
hakekatnya perpajakan di Indonesia di tetapkan berdasarkan undang-undang, hal
ini merupakan pencerminan bagian dari pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup
berbangsa dan bernegara.
Dalam hubungan ini merupakan suatu
realita negara yang merdeka dan berdaulat. Sesuai perjalanan sejarah perpajakan
nasional di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan kerangka
acuan perubahan undang-undang dan peraturan perpajakan sebagian besar bersumber
dari sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama ketika negara
Republik Indonesia baru terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini perubahan
tersebut telah banyak mengalami perubahan yang bersumber dari sistem perpajakan
negara lain.
1.2
Rumusan Masalah
·
PPh Pasal 15
·
PPh Pasal 19
·
PPh Pasal 21
·
PPh Pasal 22
·
PPh Pasal 23
·
PPh Pasal 24
·
PPh Pasal 25
·
PPh Pasal 26
·
PPh Pasal 29
1.3
Tujuan Penulisan
Menjelaskan tentang jenis-jenis pajak pasal
15,19,21,22,23,24,25,26,29
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 15
A. Pengertian
PPh Pasal 15 adalah :
Pajak Penghasilan yang dikenakan Atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Tertentu, yaitu :
·
Perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional
·
Perusahaan pelayaran dalam negeri
·
Perusahaan penerbangan dalam negeri
·
Perusahaan asuransi luar negeri
·
Perusahaan pengeboran minyak, gas
dan panas bumi
·
Perusahaan dagang asing
·
Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk
bangun-guna-serah atau BOT (“build, operate, and transfer”).
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan
pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam
bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan
Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib
Pajak tertentu tersebut.
B. Wajib
Pajak Tertentu Pasal 15 :
1. Wajib Pajak Pelayaran Dalam negeri
* Untuk penghasilan neto = 4% x peredaran bruto
* Untuk PPh terhutang = 1,2% x peredaran bruto dan final
Tertuang dalam KepMenKeu 416/KMK.04/1996
2. Wajib Pajak Penerbangan Dalam Negeri
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 1,8% x peredaran bruto dan tidak final
Tertuang dalam KepMenKeu 475/KMK.04/1996
3. Wajib Pajak Pelayaran dan Penerbangan Luar
Negeri
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 0,44% x Peredaran bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 417/KMK.04/1996
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 0,44% x Peredaran bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 417/KMK.04/1996
4. Wajib Pajak Kantor Perwakilan Dagang Asing
* untuk penghasilan neto = 1% x ekspor bruto ke Indonesia
* PPh terhutang = 0,44% x ekspor bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 634/KMK.04/1996.
* untuk penghasilan neto = 1% x ekspor bruto ke Indonesia
* PPh terhutang = 0,44% x ekspor bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 634/KMK.04/1996.
5. Wajib Pajak Kerja Sama Telkom
* untuk PPh terhutang = 5% x peredaran bruto dan Final
* Penghasilan Neto = 14,285% x peredaran bruto. Tarif 35%
Tertuang dalam KepMenKeu 88/KMK.04/1994
6. Wajib Pajak Jasa Maklon Internasional
* untuk penghasilan neto = 7% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = tarif tertinggi pasal 17 x penghasilan neto.
Tertuang dalam KepMenKeu 543/KMK.03/2002
* untuk PPh terhutang = 5% x peredaran bruto dan Final
* Penghasilan Neto = 14,285% x peredaran bruto. Tarif 35%
Tertuang dalam KepMenKeu 88/KMK.04/1994
6. Wajib Pajak Jasa Maklon Internasional
* untuk penghasilan neto = 7% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = tarif tertinggi pasal 17 x penghasilan neto.
Tertuang dalam KepMenKeu 543/KMK.03/2002
C. PPh Pasal 15 untuk
pelayaran nasional :
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 416/KMK.04/1996 tentang “Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri” dijelaskan :
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
Pasal 2
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dan bersifat final.
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 29/PJ.4/1996 tentang PPh Terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Seri PPh Umum No. 35), angka 6 menjelaskan :
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut :
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib :
a.1. memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti;
a.2. memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran I;
a.3. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
a.4. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final).
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib
b.1. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b.2. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran III, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final;
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dijelaskan bahwa:
1.Atas penghasilan Wajib Pajak Pelayaran Dalam Negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya dikenakan pajak penghasilan sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
2.Apabila penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pihak yang membayar atau terutang hasil.
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dan bersifat final.
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 29/PJ.4/1996 tentang PPh Terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Seri PPh Umum No. 35), angka 6 menjelaskan :
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut :
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib :
a.1. memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti;
a.2. memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran I;
a.3. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
a.4. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final).
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib
b.1. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b.2. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran III, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final;
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dijelaskan bahwa:
1.Atas penghasilan Wajib Pajak Pelayaran Dalam Negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya dikenakan pajak penghasilan sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
2.Apabila penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pihak yang membayar atau terutang hasil.
PPh Pasal 15 :
No Urut
|
Penghasilan
|
Tarif
%
|
DPP
|
Ketentuan Berlaku
|
1
|
Imbalan yang diterima/diperoleh
sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penyewaan
kapal laut oleh perusahaan pelayaran dalam negeri ^
|
1.2
Bersifat final
|
Penghasilan Bruto
|
NOMOR 416/KMK.04/1996
|
2
|
Imbalan Charter Kapal Laut
dan/atau Pesawat Udara yang Dibayarkan/Terutang Kepada Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri *
|
2,64
bersifat final
|
Penghasilan Bruto
|
NOMOR 417/KMK.04/1996
jo NOMOR SE –
32/PJ.4/1996
|
3
|
Imbalan yang Diterima/Diperoleh
Sehubungan dengan Pengangkutan Orang dan/atau Barang Termasuk
Charter Kapal Laut dan/atau Pesawat Udara Oleh Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan Luar Negeri *
|
2,64
bersifat final.
|
Penghasilan Bruto
|
s.d.a.
|
4
|
Imbalan Charter Pesawat Udara
Yang Dibayarkan/Terutang Kepada Perusahaan Penerbangan Dalam
Negeri
|
1.8
|
Penghasilan Bruto
|
NOMOR
475/KMK.04/1996
|
5
|
WP LN yang mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia **
|
0.44
|
Nilai Ekspor Bruto
|
KEP-667/PJ./2001
|
6
|
Pihak-pihak yang melakukan
kerjasama dalam bentuk Perjanjian Bangunan Guna Serah (Built Operate and
Transfer)
|
5
Final bagi WP OP
|
jumlah bruto nilai yang
tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
|
248/KMK.04/1995
|
Keterangan
*
|
·
Jika perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri
tidak memiliki BUT diindonesia maka tarif 20% atau sesuai dengan P3B
bersifat final
·
tidak termasuk penggantian atau imbalan yang
diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri
tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang di luar negeri dan dari
pelabuhan diluar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
|
^
|
yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua
imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri
dan/atau sebaliknya.
|
Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian charter kapal atau pesawat udara meliputi semua bentuk charter.
Khusus mengenai sewa ruangan kapal atau pesawat udara baik untuk orang
dan/atau barang (“space charter’), apabila sewa tersebut meliputi lebih dari
50% (lima puluh Persen) dari kapasitas angkut atau pesawat terbang yang
disewa, maka sewa tersebut digolongkan sebagai charter.
|
|
**
|
nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau
imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai
kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada
orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan
di Indonesia.
|
Pasal 15 UU PPh
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan
netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan
Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 15 UU PPh
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan
Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran
atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang
melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and
transfer”).
Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan
pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam
bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan
Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib
Pajak tertentu tersebut.
2.2 Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 19
PPh
PASAL 19
Menteri Keuangan berwenang
menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian
apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan
karena perkembangan harga, ,
yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
|
Atas selisih penilaian kembali
aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri
dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1).
|
2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
A. Pengertian
Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Pajak
merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun
pengertian dari Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
adalah “ pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan
badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak”. Yang dimaksud penghasilan menurut pasal 4 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 36 Tahun 2008 :
Pajak Penghasilan, adalah “ setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun”. Sedangkan yang dimaksud dengan
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
B. Kebijakan Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh
pasal 21 yaitu :
1. Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
2. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata
Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran
dan Penundaan Pembayaran Pajak.
4. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai
Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
5. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
6. Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian
Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
C. Perhitungan Pajak Penghasilan PPh pasal 21
atas Penghasilan
Seperti
yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan
tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara
dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tata cara
penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam
aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas
pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun
sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana
pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan
kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi
yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan
PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam,
yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh
pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21
bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana
pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh
pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
2.4 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
A. PENGERTIAN PPH PASAL 22
Pph Pasal 22 Adalah Pemungutan Pajak Yang
Di Lakukan Atas Pembelian Barang, Impor Barang Dan Pembelian / Penjualan Barang
Di Bidang Usaha Tertenu. Oleh Karna Itu Yang Dilakukan Pemungukan
Pph Pasal 22 Adalah Pemasuk Barang Kepada Pemerintah , Impor Dan Pemasok/Beli
Barang Dari Badan-Badan Tertentu. Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 Adalah Pph
Yang Di Pungut Oleh :
1. Bendahara
Pemerintah Pusat / Daerah, Instansi Atau Lebaga Pemerintah Dan Lembaga-Lembaga
Negara Lain, Berkenan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang .
2. Badan
Badan Tertentu , Baik Badan Pemerintah Maupun Swasta Berkenan Dengan Kegiatan
Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
3. Wajib
Pajang Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.
B. OBJEK DAN
PEMUNGUT PPH PASAL 22
Berikut Merupakan objek
Dan Pemungut Pph Pasal 22 :
NO.
|
OBJEK
|
PEMUNGUT
|
1
|
Pembelian
Barang Oleh Bendaharawan Pemerintah Dan DJA (Direktorat Jendral
Anggaran)
|
Pihak Yang
Membayar Atau Membeli :
§ Bendaharawan Pemerintah
§ DJA
|
2
|
Pembelian
Barang Oleh BUMN/BUMD Yang Bersumber Dari Dana APBN Dan Atau APBD
|
BUMN/BUMD
|
3
|
Pembelian
Barang Oleh Badan Tertentu Yang Bersumber Dari Dana APBN Maupun Non APBN
|
Badan
Tertentu
|
4
|
Impor
Barang :
- Dilakukan
Oleh Impoter Yang Memiliki API
- Dilakukan
Oleh Impoter Yang Tidak Memiliki API
- Yang
Tidak Dikuasai (Lelang)
|
- Direktorat
Jenderal Bead An Cukai (DJBC)
- BANK
Devis
|
5
|
Pembelian
Bahan Untuk Indutri Tertentu Atau Eksportior Dari Pedagang Pengumpul
|
Industri
Tertentu Yang Bergerakdi Bidang Pertanian.Perkebunan Dan Perikanan.
|
6
|
Penjualan
Bahan Bakar, Minyak, Gas Dan Pelumas
|
Produsen
Atau Impoter Bahan Bakar Minyak, Gas, Dan Pelumas
|
7
|
Penjualan
Barang Yang Terglong Mewah
|
Wajib
Pajak Badan Yang Melakukan Penjualan Tersebut.
|
8
|
Penjualan
Hasil Industry Tertentu :
- Kertas
- Baja
- Otomotif
- Semen
- Roko
|
Industry
Tertentu Yang Menjual
|
C. TARIFF
PPH PASAL 22
Berikut Merupkan
Tarif Pph Pasal 22, Antara Lain :
NO.
|
OBJEK
|
TARIF
|
1
|
Pembelian
Barang Di Lakukan Oleh DPBJ, Bendahara Pemerintah, BUMN/D Dan Badan Tertentu
|
1,5%
|
2
|
Impor
Barang :
- Yang
Menggunaka API
- Yang
Tidak Menggunakan API
- Yang
Tidak Dikuasai (Lelang)
|
2,5%
7,5%
7,5%
|
3
|
Pembelian
Bahan Bahan Untuk Industry / Ekspor Dari Pedagang Penjual
|
2,5%
|
4.
|
Penjualan
Oleh Pertamina :
- Premium,
Solar, Premix, Super TT
- Minyak
Tanah , LPG, Pelumas
|
0,25%
0,3%
|
5
|
Penjualan
Oleh Selain Pertamina :
- Premium,
Solar, Premix, Super TT
- Minyak
Tanah , LPG, Pelumas
|
0,3%
0,3%
|
6
|
Penjualan
Hasil Industry Tertentu :
- Kertas
- Baja
- Otomotif
- Semen
- Roko
|
0,1%
0,3%
0,45%
0,25%
0,15%
|
Selain
Tarifdi Atas,Peraturan Mentri Keuangan nomor 253/PMK.03/2008 Tanggal 1 Desember
2008 Juga Mengatur Tentang Wajib Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pph Pasal 22
Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah Yaitu Wajib Pajak Badan Yang
Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah, Diantaranya
:
a) Pesawat
Udara Pribadi Dengan Harga Jual Lebih Dari Rp.20.000.000.000,00
( Dua Puluh Meliar Rupiah)
b) Kabel
Pesiar Dan Sejenisnya Dengan Harga Jual Leih Dari Rp.10.000.000.000,00 (
Sepuluh Meliar Ruiah)
c) Rumah
Berserta Tanahnya Dengan Harga Jual Atau Harga Penggalihannya Lenih Dari
10.000.000.000,00 ( Sepuluh Meliar Rupiah) Dan Luas Bangunan Lebih Dari 500 M2
d) Apartemen,
kondominium,dan sejenisnya dengan harga jauh atau pengalihannya lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 ( sepuluh meliar rupiah)dan/bangunan lebih dari
400 m2.
e) Kendaraan
bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep,sport utilty vehicle (SUV), Multi purpose vehicle(MPV),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima
meliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPNBM,
Selain
tarif pajak yang tercantumdi atas,terdapat tariff sebagai berikut :
- Impor
kedelai, gandum dan tepung terigu dan importer yang menggunakan API sebesar
0,5%.
- Untuk
wajib pajak yang tidak dimiliki NPWP maka pajak dipungut 100% lebih tinggi dari
tariff pph pasal 22.
D. PENGECUALIAN PENGGUNAAN
PPH PASAL 22
Berikut
merupakan bukan objek pph pasal 22, sebagai berikut :
1. Impor
barang atau penyerahan barang yang berdasaran ke tentuan peraturan perundang
undangan tidak terutang pph. Dinyatakan dengan surat keterangan bebas (SKB)
2. Impor
barang yang di bebaskan dari bea masuk dan atau pajak pertambahan niali;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor
sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksutkan untuk di sepor
kembali dan dilakukan oleh dirijen BC.
4. Pembayaran
atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainya yang jumlahya paling
banyak Rp. 2.000.000 ( dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.
5. Pembayaran
untuk pembelian bahan bakar minyak , listrik, gas, air minum/PDAM, berbeda-beda
pos.
6. Emas
batangnya yang akan di prosesuntuk megenghasilkan barang prhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencarian
dana jaring pengaman social kantor pembendaharaan dank as Negara.
8. Impor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang barang yang telah di
ekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat
yang di tentukan oleh direktorat jendral bae dan cukai.
9. Pembayaran
untuk pembelian gabah dan atau beras oleh bulog.
E. SAAT TERUTANG DAN
PELUNASAN/PEMUNGUTAN PPH PASAL 22
1. atas
impor barang terutang dan di lunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea
masuk.dalam hal pembayaran bea masuk di tunda atau dibebaskan maka pph pasal
22terutang dan dilunasi pada saat penyelesayan dokumen pemberitahuan impor
barang (PIB)
2. Atas
pembelan barang (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3,2 dan 4)
terutang dan dipungut pada saat pembayaran .
3. Atas
penjuaan hasil produksi ( lihat pemungut dan objek pph
pasal 22 butir 5)terutang dan di pungutpada saat penjualan.
4. Atas
penjuaan hasil produksi ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 6) di
pungut pada saat pemberitahuan surat perintah pengeluaranbarang ( delvery
order).
5. Atas
pembelian bahan-bahan ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir
7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
F. TATACARA
PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH PASAL 22
PPH PASAL 22 ATAS impor barang (ihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir
1) di setor oleh importer dengan menggunakan formulir surat setoran pajak,
cukai dan pabean . pph pasal 22 atas Impor barang yang di pungut oleh DJBC hars
di setor ke BANK Devisa. Atau bendahara direktoratjendral bead an cukai, dalam
jangka waktu 1hari setelah pemungutan pajak di laporkan ke :
1) KPP
secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak ter
ahkir
2) Pph
pasal 22 atas impor harus di lunasi bersamaan dengan saat
pembayaran bea masuk dan dalam hal bea ditunda atau dibebaskan, pph pasal 22
atas impor harus di lunasi saat penyelesayan dokumen pemberitahuan pabean impor
. dilaporkan ke KPPpaling lambat tanggal 20 setelah masa pajak terahkir.
3) Pph
pasal 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 2)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP wajip pajak rekanan ke bank
persepasi atau kantor pos pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut penerbitkan
bukti pungutan rangkap 3 yaitu :
a) Lembar
pertama untuk pembeli
b) Lembar
ke dua untuk lampiran laporan bulanan ke kantor pelayanan pajak
c) Lembar
ke tiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan dan dilaporkan
ke KPP paling lamat 14 hari setelah masa pajak berahkir.
4) Pajak
pph 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3)
di setor oleh pemungut atas nama dan NPWP ke bank persepsi atau kantor pos paling
lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak
berahkir. Di laporkan ke KPP paling lambat tanggal 20
setelah masa pajak berahkir.
5) Pph
pasal 22 pembelian barang ( lihat pemungut pajak dan objek pph pasal 22 butir
4) di setor oleh pemungut atas nama dan NPWP wjib pajak
penjual kebank persepasi atauu kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwin
berikutnya dengan menggunakan formulir ssp dan menyampaikan spt masa ke saling
lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
6) Pph
pasal 22 atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22
butir 5 dan 7) dan hasil penjualan barang sangat mewah (lihat
pemungut dan objek pph pasal 22 butir 8) di setor ooleh pemungut atas nama
wajib pajak ke bank perserpsi atau kantor pos paling lambat tanggal
10 bulan takwin berikutnya dengan menggunakan formulir ssp. Pemungut
menyampaikan spt masa ke kpp paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
7) Pph
pasal 22 penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir
6)di setor oleh pemungut ke bank perserpsi atau kantor pos paling lama tanggal
10 bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir. Pemungut wajib memberikan
bukti pemungutan pph pasal 22 rangkap 3 yaitu :
a) Lembar
pertama untuk membeli;
b) Lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada kantor pelayanan pajak ;
c) Lembar
ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan ;
Pelaporan
di gunakan dengan cara menyampaikan spt masa ke kpp
setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas ahkir
pelaporan pph pasal
22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu dan hari libur nasional penyetoran atau laporan dapat di lakukan pada
hari kerja berikutnya.
2.5 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
A. Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong
dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1.
Pemotong PPh Pasal 23:
a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT
b. BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
Saat
Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti
Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
B. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23
Perubahan
pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya
Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen,
bunga royalti, hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21,
sewa, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan
dan “jasa lain” selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain”
dalam UU PPh yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam
ketentuan lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :
1.
penghasilan
yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)
2.
sewa yang dibayarkan atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi (tidak berubah)
3.
dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2c) (ketentuan baru dalam frasa berwarna biru)
4.
bunga obligasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini dihapus sesuai dengan
perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)
5.
bagian laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah)
6.
sisa hasil
usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak berubah)
7.
bunga simpanan yang tidak melebihi
batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini dihapus sehingga pengenaan PPh nya
kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, atau akan dikenakan PPh Final
tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)
8.
penghasilan
yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yangberfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur denganPeraturan
Menteri Keuangan (ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk memberikan
keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya mirip dengan
bank).
C. Tarif PPh Pasal 23
Dalam
ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :
1.
Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan
bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga,
royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2.
Tarif 15% x Penghasilan Bruto
dan bersifat
final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan
koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.
3.
15% (lima belas persen) dari
perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis
penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk
mengetahuinya.
Dalam
ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah
sebagai berikut :
1.
Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan
bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga,
royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2.
Dihapus
3.
sebesar 2%
(dua persen) dari jumlah bruto atas:
·
sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
·
imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
Dari
paragraf di atas bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami
perubahan berarti. Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan
koperasi dihapuskan. Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk
pada point 1 di mana dikenakan PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari
penghasilan bruto tanpa ada pembatasan jumlah bunga yang selama ini kita kenal.
Kalau kita
cermati pada point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis
penghasilannya. Yang berubah adalah tarifnya!. Selama ini PPh Pasal 23 ini
dikenakan tarif 15% ini dari Perkiraan Penghasilan Neto. Besarnya perkiraan
penghasilan neto ini ditetapkan oleh Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal
Pajak. Tahun 2009 nanti kita nampaknya harus mengucapkan selamat tinggal pada
kata “perkiraan penghasilan neto” ini. Ya, mulai tahun 2009 nanti tarif PPh
Pasal 23 hanya satu saja yaitu 2% dari penghasilan bruto. Lumayan kan, kita tak
perlu lagi pusing dengan jenis-jenis jasa dan tarifnya yang banyak itu
. Kita tinggal menunggu jenis “jasa
lain” yang akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang selama ini penentuan
jenis “jasa lain” ini menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.

Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP
Berdasarkan
Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak
yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh
Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif
pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya.
Saya menafsirkan ketentuan ini sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang
berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif
30%. Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang
tidak berNPWP menjadi 4%.
2.6 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24
A. Pengertian PPh Pasal 24
Pada
dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat
diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang
di luar negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU
PPh :
1. Pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2. Besarnya kredit
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan
terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan atau terutang
di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Pajak
penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan
berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar
negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan
dari penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari
pengenaan pajak berganda.
B. Subjek dan Objek PPh Pasal 24
Yang menjadi
Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas
seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri.
Objek PPh
pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri
C. Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal
24
Dalam
menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber
penghasilan sebagai berikut:
1. Penghasilan
dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan
berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa
tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan
berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan
berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan
atau berada.
5. Penghasilan
bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan
dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara
tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan
karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8. Keuntungan
karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
D. Penggabungan Penghasilan yang berasal dari
luar negeri
Penggabungan
penghasilan dari luar negri dilakukan sebagai berikut:
1. Untuk
penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
2. Untuk
penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan
dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
3. Untuk
penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat
diperolehnya deviden.
Jadi, Pajak
Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan
seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik
penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam
menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan
dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun
pajak.
2.7 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
25
A.Pengertian
PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan
(disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang
dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan
PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena
penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus
dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam
satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini
harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti
itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui
ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan
sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran
pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau
cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
B. Cara
Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh
Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung
PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita
mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun
sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya
ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita
bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini
biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka
kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran
pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran
pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak
Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal
21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun
pajak.
Misal, SPT Tahunan
2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan
terutang
50.000.000
Kredit Pajak PPh
Pasal 21,22,23 dan 24
35.000.000
Maka, PPh Pasal 25
tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang
50.000.000
Kredit Pajak PPh
Pasal 21,22,23 dan 24
35.000.000
Selisih 15.000.000
PPh Pasal 25 =
15.000.000 : 12
=
1.250.000
PPh
Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25
bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun
kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum
batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan
demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh
Pasal 25 bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan
Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk
tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan SKP
PPh
Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
- Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
- Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
- ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
- Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
- Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran
bulanan sebelum pembetulan.
- Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
PPh
Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu
Penghitungan besarnya
angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri
Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002
Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa
Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
2.8 Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
1.
Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari
azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia.
Berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang
dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di
Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding
tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984.
Dalam
ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis
PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a)
dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang
lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26
ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib
Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh
Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah
Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat
(1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4)
sudah saya buat di tautan berikut ini :
Istilah PPh
Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama
selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.
1.
Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan
ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)
adalah :
1.
Badan Pemerintah
Tidak ada
penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah
ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan
Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah
Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
2.
Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak
badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan
berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat
kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di
Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan
tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian
badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
3.
Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang
pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau
kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang
mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan
lain-lain.
4.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah
bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia
sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT
disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
5.
Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT
yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya
adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-perusahaan
asing.
1.
Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26
Pengertian
Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga
Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Jadi, Wajib
Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa
perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa
dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui
sistem self assesmentpelaporan SPT Tahunan.
1.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26
Jenis-jenis
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
1.
dividen;
2.
bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3.
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan hartai;
4.
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
5.
hadiah dan penghargaan;
6.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7.
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
dan/atau
8.
keuntungan karena pembebasan utang
1.
Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif PPh
Pasal 26 (bersifat final) adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak
nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri.
Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y
sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100
Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan
PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara
lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan
PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila
ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan
domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.
2.8 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
29
Pengertian
PPh Pasal 29 adalah :
Pajak
Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak
Badan sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah dipotong atau
dipungut oleh pihak lain dan yang telah disetor sendiri.
PPh Pasal 29
harus disetor menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat sebelum SPT
Tahunan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Kode jenis
setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak badan adalah 411126-200
Kode jenid
setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi adalah 411125-200
Contoh :
PPh
Terutang
: 100.000.000
Kredit Pajak
:
PPh Pasal
22 : 10.000.000
PPh Pasal
25 : 20.000.000 +
30.000.000 -
PPh Pasal
29
70.000.000
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pajak
Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang
dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji,
honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://ellorakarina.blogspot.com/2013/01/pengertian-pph-pasal-26.html
·
http://amsyong.com/2013/09/siapa-subjek-dan-bukan-subjek-pph-pasal-2126/
·
Prof.
Supramono, SE., MBA., DBA & Theresia Woro Damayanti SE,
Perpajakan Indonesia- Mekanisme dan Perhitungan , 2010, Yogyakarta :CV. Andi
Offset
No comments:
Post a Comment