Terima Kasih Telah Berkunjung Ke MAKALAH UBB

Thursday, May 11, 2017

MAKALAH PERPAJAKAN - JENIS-JENIS PAJAK PENGHASILAN

MAKALAH
Jenis-Jenis PPh Pasal 15,19,21,22,23,24,25,26,29
Dosen Pembimbing : Rizki, S.Pd., M.Akt.


DI SUSUN OLEH:

-          Mutiara Agustin                               (3021411066)
-          Peni Rozalini                                      (3021411080)
-          Riza Eka Saputri                                (3021411095)



5 MN 3
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2016


i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala hidayah dan rahmat-Nya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan Makalah yang bertemakan Jenis-Jenis Pajak Penghasilan. Makalah kami dapat kami tulis atas kerja sama para anggota dari kelompok kami. Dengan adanya Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pemahaman para pembaca tentang masalah yang ditulis dalam Makalah kami ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan Makalah ini. Dan semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.


                                                                                                   Balun Ijuk, 7 Oktober 2016

                                                                                                                  Penulis









                                                                ii 
DAFTAR ISI
Halaman judul..........................................................................................................................i
Kata pengantar........................................................................................................................ii
Daftar isi.................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2  Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3  Tujuan Penulisan...............................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................................2
2.1 PPh Pasal 15.......................................................................................................................2
2.2 PPh Pasal 19.......................................................................................................................5
2.3 PPh Pasal 21.......................................................................................................................6
2.4 PPh Pasal 22.......................................................................................................................
2.5 PPh Pasal 23.......................................................................................................................
2.6 PPh Pasal 24......................................................................................................................
2.6 PPh Pasal 25......................................................................................................................
2.7 PPh Pasal 26.....................................................................................................................
2.8 PPh Pasal 29......................................................................................................................
BAB 3 PENUTUP..................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14


                                                       
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghsilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak.
Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran(cash disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkanPada hakekatnya perpajakan di Indonesia di tetapkan berdasarkan undang-undang, hal ini merupakan pencerminan bagian dari pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam hubungan ini merupakan suatu realita negara yang merdeka dan berdaulat. Sesuai perjalanan sejarah perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan kerangka acuan perubahan undang-undang dan peraturan perpajakan sebagian besar bersumber dari sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama ketika negara Republik Indonesia baru terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini perubahan tersebut telah banyak mengalami perubahan yang bersumber dari sistem perpajakan negara lain.
1.2  Rumusan Masalah
·         PPh Pasal 15
·         PPh Pasal 19
·         PPh Pasal 21
·         PPh Pasal 22
·         PPh Pasal 23
·         PPh Pasal 24
·         PPh Pasal 25
·         PPh Pasal 26
·         PPh Pasal 29
1.3  Tujuan Penulisan
Menjelaskan tentang jenis-jenis pajak pasal 15,19,21,22,23,24,25,26,29




BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15
A. Pengertian PPh Pasal 15 adalah :
Pajak Penghasilan yang dikenakan Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Tertentu, yaitu :

·         Perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional
·         Perusahaan pelayaran dalam negeri
·         Perusahaan penerbangan dalam negeri
·         Perusahaan asuransi luar negeri
·         Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi
·         Perusahaan dagang asing
·         Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah atau BOT (“build, operate, and transfer”).
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

B. Wajib Pajak Tertentu Pasal 15 :

1.     Wajib Pajak Pelayaran Dalam negeri
* Untuk penghasilan neto = 4% x peredaran bruto
* Untuk PPh terhutang = 1,2% x peredaran bruto dan final
Tertuang dalam KepMenKeu 416/KMK.04/1996

2.     Wajib Pajak Penerbangan Dalam Negeri
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 1,8% x peredaran bruto dan tidak final
Tertuang dalam KepMenKeu 475/KMK.04/1996

3.     Wajib Pajak Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 0,44% x Peredaran bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 417/KMK.04/1996

4.     Wajib Pajak Kantor Perwakilan Dagang Asing
* untuk penghasilan neto = 1% x ekspor bruto ke Indonesia
* PPh terhutang = 0,44% x ekspor bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 634/KMK.04/1996.

5.     Wajib Pajak Kerja Sama Telkom
* untuk PPh terhutang = 5% x peredaran bruto dan Final
* Penghasilan Neto = 14,285% x peredaran bruto. Tarif 35%
Tertuang dalam KepMenKeu 88/KMK.04/1994
6.     Wajib Pajak Jasa Maklon Internasional
* untuk penghasilan neto = 7% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = tarif tertinggi pasal 17 x penghasilan neto.
Tertuang dalam KepMenKeu 543/KMK.03/2002

C. PPh Pasal 15 untuk pelayaran nasional :

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 416/KMK.04/1996 tentang “Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri” dijelaskan :
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
Pasal 2
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dan bersifat final.

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 29/PJ.4/1996 tentang PPh Terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Seri PPh Umum No. 35), angka 6 menjelaskan :
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut :
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib :
a.1. memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti;
a.2. memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran I;
a.3. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
a.4. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final).
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib
b.1. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b.2. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran III, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final;

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dijelaskan bahwa:
1.Atas penghasilan Wajib Pajak Pelayaran Dalam Negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya dikenakan pajak penghasilan sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
2.Apabila penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pihak yang membayar atau terutang hasil.
PPh Pasal 15 :
No Urut
Penghasilan
Tarif
%
DPP
Ketentuan Berlaku
1
Imbalan yang diterima/diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penyewaan kapal laut oleh perusahaan pelayaran dalam negeri ^
1.2
Bersifat final
Penghasilan Bruto
NOMOR 416/KMK.04/1996
2
Imbalan Charter Kapal Laut dan/atau Pesawat  Udara yang Dibayarkan/Terutang Kepada Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan  Luar Negeri *
2,64
bersifat final
Penghasilan Bruto
NOMOR 417/KMK.04/1996
jo  NOMOR SE – 32/PJ.4/1996
3
Imbalan yang Diterima/Diperoleh Sehubungan  dengan Pengangkutan Orang dan/atau Barang  Termasuk Charter Kapal Laut dan/atau  Pesawat Udara Oleh Perusahaan Pelayaran  dan/atau Penerbangan Luar Negeri *
2,64
bersifat final.
Penghasilan Bruto
s.d.a.
4
Imbalan Charter Pesawat Udara Yang  Dibayarkan/Terutang Kepada Perusahaan  Penerbangan Dalam Negeri
1.8
Penghasilan Bruto
NOMOR
475/KMK.04/1996
5
WP LN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia **
0.44
Nilai Ekspor Bruto
KEP-667/PJ./2001
6
Pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk Perjanjian Bangunan Guna Serah (Built Operate and Transfer)



5
Final bagi WP OP
jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
248/KMK.04/1995

Keterangan
















*
·         Jika perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri tidak memiliki BUT diindonesia maka tarif 20% atau sesuai dengan P3B bersifat final
·         tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang di luar negeri dan dari pelabuhan diluar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
^
yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian charter kapal atau pesawat udara meliputi semua bentuk charter. Khusus mengenai sewa ruangan kapal atau pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang (“space charter’), apabila sewa tersebut meliputi lebih dari 50% (lima puluh Persen) dari kapasitas angkut atau pesawat terbang yang disewa, maka sewa tersebut digolongkan sebagai charter.
**
nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 15 UU PPh
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 15 UU PPh
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and transfer”).
Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 19
PPh PASAL 19

      Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga, , yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
     Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak  tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
A. Pengertian Pajak Penghasilan PPh Pasal 21

Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pengertian dari Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah “ pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak”. Yang dimaksud penghasilan menurut pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 :
            Pajak Penghasilan, adalah “ setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Sedangkan yang dimaksud dengan
            Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.


B.  Kebijakan Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
            Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :
1.    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
2.    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
3.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
4.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
5.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
6.    Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
7.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
C.  Perhitungan Pajak Penghasilan PPh pasal 21 atas Penghasilan
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tata cara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.  Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
2.4 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
A.        PENGERTIAN PPH PASAL 22
Pph Pasal 22 Adalah Pemungutan  Pajak Yang Di Lakukan Atas Pembelian Barang, Impor Barang Dan Pembelian / Penjualan Barang Di Bidang Usaha Tertenu. Oleh Karna Itu  Yang Dilakukan Pemungukan Pph Pasal 22 Adalah Pemasuk Barang Kepada Pemerintah , Impor Dan Pemasok/Beli Barang Dari Badan-Badan Tertentu. Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 Adalah Pph Yang Di Pungut Oleh :

1.       Bendahara Pemerintah Pusat / Daerah, Instansi Atau Lebaga Pemerintah Dan Lembaga-Lembaga Negara Lain, Berkenan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang .
2.       Badan Badan Tertentu , Baik Badan Pemerintah Maupun Swasta Berkenan Dengan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
3.       Wajib Pajang Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.

B.        OBJEK DAN PEMUNGUT  PPH PASAL 22

Berikut Merupakan  objek Dan Pemungut Pph Pasal 22 :

NO.
OBJEK
PEMUNGUT

1
Pembelian Barang Oleh Bendaharawan Pemerintah Dan DJA (Direktorat Jendral Anggaran)                                                                                           
Pihak Yang Membayar Atau Membeli :
             §  Bendaharawan Pemerintah
§  DJA

2
Pembelian Barang Oleh BUMN/BUMD Yang Bersumber Dari Dana APBN Dan Atau APBD

BUMN/BUMD

3
Pembelian Barang Oleh Badan Tertentu Yang Bersumber Dari Dana APBN Maupun Non APBN

Badan Tertentu



4
Impor Barang :
-        Dilakukan Oleh Impoter Yang Memiliki API
-        Dilakukan Oleh  Impoter Yang Tidak Memiliki API
-        Yang Tidak Dikuasai (Lelang)
-        Direktorat Jenderal Bead An Cukai (DJBC)
-        BANK Devis
5

Pembelian Bahan Untuk Indutri Tertentu Atau Eksportior Dari Pedagang Pengumpul
Industri Tertentu Yang Bergerakdi Bidang Pertanian.Perkebunan Dan Perikanan.
6
Penjualan Bahan Bakar, Minyak, Gas Dan Pelumas
Produsen Atau Impoter Bahan Bakar Minyak, Gas, Dan Pelumas
7
Penjualan Barang Yang Terglong Mewah
Wajib Pajak  Badan Yang Melakukan Penjualan Tersebut.



8
Penjualan Hasil Industry Tertentu :
-        Kertas
-        Baja
-        Otomotif
-        Semen
-        Roko
Industry Tertentu Yang Menjual

                                
C.        TARIFF PPH PASAL 22
Berikut Merupkan Tarif  Pph Pasal 22, Antara Lain :

NO.
OBJEK
TARIF
1
Pembelian Barang Di Lakukan Oleh DPBJ, Bendahara Pemerintah, BUMN/D Dan Badan Tertentu
1,5%


2
Impor Barang :
-        Yang Menggunaka API
-        Yang Tidak Menggunakan API
-        Yang Tidak Dikuasai (Lelang)

2,5%
7,5%
7,5%
3
Pembelian Bahan Bahan Untuk Industry / Ekspor Dari Pedagang Penjual
2,5%

4.
Penjualan Oleh Pertamina :
-        Premium, Solar, Premix, Super TT
-        Minyak Tanah , LPG, Pelumas

0,25%
0,3%

5
Penjualan Oleh Selain Pertamina :
-        Premium, Solar, Premix, Super TT
-        Minyak Tanah , LPG, Pelumas

0,3%
0,3%



6
Penjualan Hasil Industry Tertentu :
-        Kertas
-        Baja
-        Otomotif
-        Semen
-        Roko

0,1%
0,3%
0,45%
0,25%
0,15%

Selain Tarifdi Atas,Peraturan Mentri Keuangan nomor 253/PMK.03/2008 Tanggal 1 Desember 2008 Juga Mengatur Tentang Wajib Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pph Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah Yaitu Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang  Tergolong Sangat Mewah, Diantaranya :
a)        Pesawat Udara Pribadi  Dengan Harga Jual Lebih Dari  Rp.20.000.000.000,00 ( Dua Puluh Meliar Rupiah)
b)        Kabel Pesiar Dan Sejenisnya Dengan Harga Jual Leih Dari Rp.10.000.000.000,00 ( Sepuluh Meliar Ruiah)
c)        Rumah Berserta Tanahnya Dengan Harga Jual Atau Harga Penggalihannya Lenih Dari 10.000.000.000,00 ( Sepuluh Meliar Rupiah) Dan Luas Bangunan Lebih Dari 500 M2
d)        Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jauh atau pengalihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000,00 ( sepuluh meliar rupiah)dan/bangunan lebih  dari 400 m2.
e)        Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang  dari 10 orang berupa sedan, jeep,sport utilty vehicle (SUV), Multi  purpose vehicle(MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima meliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder  5%  dari  harga  jual  tidak termasuk PPN  dan PPNBM,

Selain tarif  pajak yang tercantumdi atas,terdapat tariff sebagai berikut :

-        Impor kedelai, gandum dan tepung terigu dan importer yang menggunakan API sebesar 0,5%.
-        Untuk wajib pajak yang tidak dimiliki NPWP maka pajak dipungut 100% lebih tinggi dari tariff pph pasal 22. 
D.        PENGECUALIAN PENGGUNAAN PPH PASAL 22

Berikut merupakan bukan objek pph pasal 22, sebagai berikut :

1.       Impor barang atau penyerahan barang yang berdasaran ke tentuan peraturan perundang undangan tidak terutang pph. Dinyatakan dengan surat keterangan bebas (SKB)
2.       Impor barang yang di bebaskan dari bea masuk dan atau pajak pertambahan niali; dilaksanakan oleh DJBC.
3.       Impor sementara  jika waktu impornya nyata-nyata dimaksutkan untuk di sepor kembali dan dilakukan oleh dirijen BC.
4.       Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainya yang jumlahya paling banyak Rp. 2.000.000 ( dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5.       Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak , listrik, gas, air minum/PDAM, berbeda-beda pos.
6.       Emas batangnya yang akan di prosesuntuk megenghasilkan barang prhiasan dari emas  untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7.       Pembayaran/pencarian dana jaring pengaman social kantor pembendaharaan dank as Negara.
8.       Impor kembali dalam kualitas yang sama  atau barang barang yang telah di ekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang di tentukan oleh direktorat jendral bae dan cukai.
9.       Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh bulog.

E.        SAAT TERUTANG DAN PELUNASAN/PEMUNGUTAN PPH PASAL 22

1.       atas impor barang terutang dan di lunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk.dalam hal pembayaran bea masuk di tunda atau dibebaskan maka pph pasal 22terutang dan dilunasi pada saat penyelesayan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB)
2.       Atas pembelan barang (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3,2 dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran .
3.       Atas penjuaan hasil  produksi  ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 5)terutang dan di pungutpada saat  penjualan.
4.       Atas penjuaan hasil produksi ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 6) di pungut pada saat pemberitahuan surat perintah pengeluaranbarang ( delvery order).
5.       Atas pembelian bahan-bahan  ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

F.        TATACARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH PASAL 22

  PPH PASAL 22 ATAS impor barang (ihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 1) di setor oleh importer dengan menggunakan formulir surat setoran pajak, cukai dan pabean . pph pasal 22 atas Impor barang yang di pungut oleh DJBC hars di setor ke BANK Devisa. Atau bendahara direktoratjendral bead an cukai, dalam jangka waktu 1hari setelah pemungutan pajak di laporkan ke  :

1)      KPP secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak ter ahkir
2)      Pph pasal 22 atas  impor harus di lunasi  bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk dan dalam hal bea ditunda atau dibebaskan, pph pasal 22 atas impor harus di lunasi saat penyelesayan dokumen pemberitahuan pabean impor . dilaporkan ke KPPpaling lambat tanggal 20 setelah masa pajak terahkir.
3)      Pph pasal 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP wajip pajak rekanan  ke bank persepasi  atau kantor pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan  pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut penerbitkan bukti pungutan rangkap 3 yaitu :

a)        Lembar pertama untuk pembeli
b)        Lembar ke dua untuk lampiran laporan bulanan ke kantor pelayanan pajak
c)        Lembar ke tiga untuk arsip  pemungut pajak yang bersangkutan dan dilaporkan ke KPP paling lamat 14 hari setelah masa pajak berahkir.

4)      Pajak pph 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3) di setor oleh pemungut atas nama dan NPWP ke bank persepsi atau kantor pos paling lama tanggal 10  bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir.  Di laporkan ke KPP paling lambat tanggal  20 setelah masa pajak berahkir.
5)      Pph pasal 22 pembelian barang ( lihat pemungut pajak dan objek pph pasal 22 butir 4)  di setor oleh pemungut atas nama dan  NPWP wjib pajak penjual kebank persepasi atauu kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwin berikutnya dengan menggunakan formulir ssp dan menyampaikan spt masa ke saling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
6)      Pph pasal 22 atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 5 dan 7) dan hasil penjualan barang  sangat mewah (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 8) di setor ooleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank perserpsi  atau kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwin berikutnya dengan menggunakan formulir ssp. Pemungut menyampaikan spt masa ke kpp paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
7)      Pph pasal 22 penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 6)di setor oleh pemungut ke bank perserpsi atau kantor pos paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir. Pemungut wajib memberikan bukti pemungutan pph pasal 22 rangkap 3 yaitu :

a)        Lembar pertama untuk membeli;
b)        Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada kantor pelayanan pajak ;
c)        Lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan ;
  Pelaporan di gunakan dengan cara menyampaikan spt  masa ke kpp setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas ahkir pelaporan pph pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu dan hari libur nasional penyetoran atau laporan dapat di lakukan pada hari kerja berikutnya. 

2.5 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
A. Pengertian

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23

1.      Pemotong PPh Pasal 23:

a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
B. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto  atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti, hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan “jasa lain” selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain” dalam UU PPh yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :
1.                  penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)
2.                  sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (tidak berubah)
3.                  dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) (ketentuan baru dalam frasa berwarna biru)
4.                  bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)
5.                  bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah
6.                  sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak berubah)
7.                  bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)
8.                  penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yangberfungsi  sebagai  penyalur  pinjaman  dan/atau  pembiayaan  yang  diatur  denganPeraturan Menteri Keuangan (ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk memberikan keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya mirip dengan bank).

C. Tarif PPh Pasal 23

Dalam ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :
1.                  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2.                  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.
3.                  15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk mengetahuinya.
Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :
1.                  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2.                  Dihapus
3.                  sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
·                     sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai  Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
·                     imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa  konsultan,  dan jasa  lain  selain  jasa  yang  telah  dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Dari paragraf di atas bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami perubahan berarti. Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan koperasi dihapuskan. Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk pada point 1 di mana dikenakan PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari penghasilan bruto tanpa ada pembatasan jumlah bunga yang selama ini kita kenal.

Kalau kita cermati pada point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis penghasilannya. Yang berubah adalah tarifnya!. Selama ini PPh Pasal 23 ini dikenakan tarif 15% ini dari Perkiraan Penghasilan Neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini ditetapkan oleh Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Tahun 2009 nanti kita nampaknya harus mengucapkan selamat tinggal pada kata “perkiraan penghasilan neto” ini. Ya, mulai tahun 2009 nanti tarif PPh Pasal 23 hanya satu saja yaitu 2% dari penghasilan bruto. Lumayan kan, kita tak perlu lagi pusing dengan jenis-jenis jasa dan tarifnya yang banyak itu :). Kita tinggal menunggu jenis “jasa lain” yang akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang selama ini penentuan jenis “jasa lain” ini menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.
Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi  100%  (seratus  persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya. Saya menafsirkan ketentuan ini sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif 30%. Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang tidak berNPWP menjadi 4%.
2.6 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24
A. Pengertian PPh Pasal 24

Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri.  Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh  :

1.      Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2.      Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan  diluar negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari  penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.

B.     Subjek dan Objek PPh Pasal 24

Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. 
Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri

C.       Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal 24

Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut:
1.      Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2.      Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3.      Penghasilan berupa sewa sehubungan  dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara  tempat harta tersebut terletak.
4.      Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5.      Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6.      Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.
7.      Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8.      Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

D.    Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri

Penggabungan penghasilan dari luar negri dilakukan sebagai berikut:
1.      Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
2.      Untuk penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
3.      Untuk penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat diperolehnya deviden.
Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.

2.7 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

A.Pengertian PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

B. Cara Mengitung PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir.  Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang                                50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang                                50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                35.000.000
Selisih                                                            15.000.000
PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 =                          1.250.000

PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.

PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP

PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
  1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
  2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
  3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
  4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
  5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
  6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak   Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu

Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.






2.8 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
1.      Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di tautan berikut ini :
·         PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)), dan
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4))
Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.
1.      Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)  adalah :
1.      Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
2.      Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3.      Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.

4.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.

5.      Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

1.      Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesmentpelaporan SPT Tahunan.

1.      Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
1.      dividen;
2.      bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3.      royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
4.      imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5.      hadiah dan penghargaan;
6.      pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7.      premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8.      keuntungan karena pembebasan utang

1.      Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif PPh Pasal 26 (bersifat final) adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.
2.8 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29
Pengertian PPh Pasal 29 adalah :
Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan yang telah disetor sendiri.
PPh Pasal 29 harus disetor menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat sebelum SPT Tahunan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Kode jenis setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak badan adalah 411126-200
Kode jenid setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi adalah 411125-200
Contoh :
PPh Terutang                                              : 100.000.000
Kredit Pajak :
PPh Pasal 22         :  10.000.000
PPh Pasal 25         :  20.000.000 +                30.000.000   -
PPh Pasal 29                                                 70.000.000







BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.































DAFTAR PUSTAKA
·         http://ellorakarina.blogspot.com/2013/01/pengertian-pph-pasal-26.html
·         http://amsyong.com/2013/09/siapa-subjek-dan-bukan-subjek-pph-pasal-2126/
·         Prof. Supramono, SE., MBA., DBA & Theresia Woro Damayanti SE, Perpajakan Indonesia- Mekanisme dan Perhitungan , 2010, Yogyakarta :CV. Andi Offset
·         Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, 2005, Jakarta :  Yayasan Obor Indonesia

No comments:

Judul Diunggulkan

JURNAL PENELITIAN PEMERIKSAAN AKUNTANSI - PEMERIKSAAN TERHADAP PIUTANG DAGANG

Pemeriksaaan Terhadap Piutang Dagang ( Account Receivable) Pada PT Bintang Baru Terus Jaya Oleh: Riza Marveni 1 Ri z ky Purnom...